Saya, Covid-19, dan Kesempatan Hidup (2)

 Enam Hari Diisolasi, Dunia Hanya Sebatas Daun Jendela
After shower. D-3 Isolation admitted at hospital

(Sebelum membaca ini, baiknya baca yang pertama INI dulu ya)

Senin, 3 Mei 2021

Sekitar pukul 19.00 WIB sebelumnya, dokter Elly mengabariku supaya bersiap-siap. Saya tak jadi dibawa ke RSKI Galang, melainkan akan dirawat di RS Santa Elisabeth (RSE) Lubukbaja. Saya pun mempersiapkan diri.

"Mbak sudah didaftarkan di RS Elisabeth Lubukbaja. Tunggu instruksi dari kita ya. Malam ini segera perawatan," ujar dokter dari gugus tugas Puskesmas Lubukbaja itu.

Pada pukul 20.40 WIB, setelah mendapat instruksi, saya pun berangkat sendiri menuju rumah sakit. Langsung menuju Unit Gawat Darurat (ICU).

Di ICU, kepada perawat jaga, saya menyatakan diri "rujukan Puskemas Lubukbaja". Dua perawat yang tengah berjaga langsung berdiri, memintaku menunggu di luar. "Atas nama ibu Chahaya ya? Silakan tunggu di luar dulu ya bu," ujarnya.

Tangan kanan bengkak karena infus.

Ya, virus ini membuat siapa saja takut. Tanpa terkecuali. Awam atau pun paramedis. Wajar saja mereka langsung menyuruhku keluar. Saya sadar diri.

Tak kurang dari 15 menit, mengenakan pakaian RS dan masker serta face shield, perawat pria mendatangiku. saya langsung dibawa ke ruang emergency. "Silakan baring di sini bu," ungkapnya ramah.

Tak berapa lama, dokter Donal datang memeriksaku. Meminta KTP dan juga menanyakan siapa perwakilanku. Yang terpikirkanku saat itu adalah kak Lestari Hutagaol. Sahabat di kota ini yang sudah kuanggap kakak dan keluargaku sendiri. Saya pun menghubunginya. Memintanya ke rumah sakit sebagai penanggung jawabku, apabila sesuatu hal yang tidak diinginkan terjadi. Ini pandemi. Kalau terjadi apa-apa, setidaknya ada yang tahu kondisiku, dimana saya dikebumikan, dan yang terpenting, ada orang yang bertanggung jawab ke rumah sakit.

Saya tahu kak Tari saat itu sudah lelah. Dalam perjalanan dari kantor menuju rumahnya. Jaraknya jauh. Tapi, dia dengan ikhlas mau kembali balik dari rumahnya ke rumah sakit untuk menjadi penanggung jawabku (Upahmu besar di Sorga kak Tari. I love you my soul sister). Kala itu kak Tari menandatangani pernyataan bahwa tidak akan ada tuntutan dari keluarga, apabila pasien (saya) meninggal dalam masa perawatan. Dia juga menandatangani, apabila pasien (saya) meninggal, maka keluarga setuju akan dikebumikan sesuai protokol pemulasaraan dan pemakaman Covid-19. Seram ya?

Sambil urusan itu berjalan, saya pun menjalani serangkaian tes kesehatan. Mulai:

  1.  Pemeriksaan suhu, tensi, dan lain-lain. 
  2. Ekokardiogram atau USG jantung. Di sini beberapa titik tubuhku diolesi gel dingin, dipasangi kabel yang dihubungkan ke komputer pemeriksa. (Waktu saya keluar, hasil ini tak diberikan kepada saya. Senin besok, saya akan kembali ke RS dan memintanya) 
  3. Pengambilan darah, untuk mendeteksi kondisi kesehatanku dan sudah sejauh mana virus menggerogoti organ dalam tubuhku. (Ini juga, hasilnya saya tak diberitahu. Tiap saya tanyakan ke perawat, katanya masih pemeriksaan lab hasilnya). Saat itu memang sudah pukul 23.00 WIB. Pun kalau mau tahu hasilnya pasti di hari berikutnya. 
  4. Rontgen thorax. Saya dibawa ke ruang radiologi untuk menjalani pemeriksaan dada menggunakan gelombang elektromagnetik. Hasil dari paru-paru saya, ada flek. Virus Corona jahanam itu mencoba menyerang paru-paru saya. Kelihatan dari hasilnya, paru-paru saya berembun ditandai dengan titik-titik kecil. Berdasarkan penjelasan Pulmonologi, dokter Yohanes Gunawan, dilihat dari gejalaku, harusnya kondisi paru-paruku sudah parah. Virus ini jahat menyerang tubuh, khususnya pernafasan. "Ibu Chahaya sudah vaksin ya?" tanyanya. Saya pun menjawab sudah vaksin penuh pada 3 dan 17 Maret 2021 lalu menggunakan Sinovac Corona-vac.


Dia menyebutkan, karena sudah divaksin itulah, antibody di tubuhku bekerja menahan penyeberan virus sehingga organ-organ di tubuhku tak rusak. Puji Tuhan banget.

Usai pemeriksaan radiologi, saya kembali ke ruang perawatan ICU. Di sana dua perawat berpakaian APD lengkap sudah bersiap menanganiku. Mereka menancapkan jarum infus di tangan kananku. Lalu menyuntikkan tiga jenis obat injeksi. Sangat pedih. Selain itu, mereka juga memberikanku delapan pil dan satu pil larut yang saya baca namanya Acetyn 600. Acetyn merupakan obat keras. Harus dicampur dengan 100 ml air baru diminum. Fungsinya sebagai obat batuk dan membersihkan flek dari paru-paruku. Seumur-umur, baru kali ini saya menjalani perawatan intensif di RS. semua karena virus jahat ini.

- Menuju Ruang Isolasi

Selesai sudah penanganan di UGD. Perawat pun bersiap membawaku naik ke ruang isolasi, kamar 364 di lantai 3. Ada rasa sedih. Pikiranku menerawang jauh. What if.....? Tak terasa air mata saya menetes. Untuk mengakalinya, saya memanggil Alfie, sahabat yang datang membantuku, memberi waktunya ketika saya tengah terpuruk. Di hadapannya saya ceria. Dia menungguiku di ICU hingga pukul 2.30 WIB dini hari. Dia baru pulang setelah saya dibawa ke ruang isolasi. Dia turut mengantarku, membawa keperluanku sampai batas aman di lantai tiga itu. (Thankyou is not enough to say to you Alfie. God bless you dear).

Proses uap oksigen. Selama perawatan, rutin dua kali sehari.

Sebelum saya dibawa ke ruang isolasi, terlebih dahulu pasien yang ada di ruang isolasi ICU dibawa. Pasien perempuan. Namanya Meisy Novita. Usianya 42 tahun. Saat perawatan itu nafasnya sudah sangat sesak. Saturasinya sangat rendah. Saya memperhatikannya karena jarak tempat tidurku ke ruangannya di ICU itu berseberangan.

Kemudian, tiba giliran saya. Dokter pun menyuruh saya berbaring di bed roda. Bed itu, tempat pasien sebelumnya. Saya sempat protes. "Saya pakai kursi roda saja atau jalan bisa kok. Ini kan bekas digunakan sama pasien sebelumnya," ujarku.

Perawat menjawab "Kalian kan sama-sama pasien Covid bu. Tak apa naik saja. Tak bisa pakai kursi roda. Ada aturannya," ujarnya. Saya pun tunduk.

Ruang Isolasi Fransiskus, Kamar 364 di lantai 3 itu menjadi duniaku selama enam hari, terhitung sejak Selasa, 4 Mei 2021, pukul 2.42 WIB. Enam hari diisolasi, dunia hanya sebatas daun jendela bagiku.

Begitu memasuki ruangan itu, dua pasang mata melihatiku. Pasien yang sebelumnya sudah ada di sana lebih dari 10 hari perawatan. Satu berusia 62 tahun, namanya ibu Loide Siagian, satu lagi seorang ibu muda. Saya lupa namanya siapa.

Di sebelah ranjangku, pasien yang sebelumnya sama-sama kami dipindahkan di ruang ICU sudah terbaring lemah. Dia sudah memakai oksigen. Dia tak bisa tidur karena sesak. Pagi harinya dia dipasangi ventilator. Keesokan harinya, dia berpulang, menghadap Sang Khalik. Padahal, kami sempat mengobrol di tengah keterbatasan nafasnya. "Mana mau Lebaran lagi, malah di rumah sakit. Kangen makan opor ayam," ujarnya. Kami sempat saling menyemangati. Saya masih ingat senyum dan tatapan mata tajamnya. Rest in Peace ibu Maisy Novita.

Selama perawatan di ruang isolasi itu, dua hari saya tak bisa ngapa-ngapain. Sangat rentan stres. Sedikit kepikiran apa pun, immun turun. Saya sempat stres saat memikirkan bahwa udara yang saya hirup di ruangan itu sudah dipenuhi virus, mengingat ada empat pasien, dan hanya satu jendel berjeruji dengan pemandangan dinding rumah sakit dan apartemen belum siap bangun di kejauhan. Dari jendela itulah sumber matahari kami para pasien. Namun, seiring waktu pikiran menghirup virus itu kutepis.

Beragam kegiatan ringan di atas tempat tidur saya lakukan. Meditasi, mendengar musik rohani, menonton Netflix, hingga ikut dialog jurnalistik memperingati Hari Kebebasan Pers yang diadakan Kedutaan Amerika Serikat saat itu. Di sana, saya berinteraksi dengan ketua AJI Indonesia, jurnalis dari Pilipina, Singapura, dan Malaysia, serta dari para mahasiswa Komunikasi Paramadina. Dialog itu sangat membantuku sesaat untuk melupakan bahwa saya seorang pasien Covid-19 yang kini tengah terisolasi.

Dua hari pertama saya tak mandi bahkan tak ganti baju. Sikat gigi dan cuci muka pun kesusahan. Mengingat jarum infus tertancang di tangan kanan. Setiap saya cuci muka dan sikat gigi, darah pasti naik dan perih tertarik.

Di hari ketiga, saya memberanikan diri mandi. Tidak maksimal bersih karena tangan kiri yang bertugas penuh. Namun di saat mandi itu, seolah virus juga terbuang begitu air memancar deras dari shower.

Dini harinya, saya ganti baju dibantu perawat. Puji Tuhan, semua perawat RS Elisabeth Lubukbaja yang bertugas di ruang isolasi sangat baik-baik banget merawatku. Ada namanya Ernita atau Renita. Terimakasih kamu. Tuhan berkati pekerjaanmu dan Sehat selalu our Nurse. Kalian adalah pahlawan di tengah pandemi ini.

Hari keempat, saya menjalani rontgen paru kedua di kamar isolasi untuk melihat perkembangan paru-paruku. Hasilnya, luar biasa. Paru-paruku bersih. Masih ada sisa flek tapi itu bisa dihilangkan dengan minum obat larut dan juga masih rutin uap oksigen dua kali sehari.

Keesokan harinya, perawat mengabariku, perkembanganku sangat luar biasa dan dibolehkan untuk test swab PCR kembali. Perawat mendatangiku ke kamar. Di sana dilaksanakan swab.

Hari minggu, pukul 16.00 WIB, hasil keluar dan dinyatakan negatif. Hari itu juga saya diperbolehkan pulang. Dengan bahagia saya melompat tinggi. Perawat pun tertawa. "Yes. Puji Tuhan. Puji Nama Tuhan," teriakku. Teh yang kuseduh tak jadi kuminum saat itu saking bahagianya.

Ucapan terimakasihku kepada:

1. Kak Renita Panjaitan dan keluarga yang memberikan tangannya dan doanya membantuku memenuhi kebutuhan dari mulai awal perawatan. In my own challenging times, God send you to helped me and thats is beyond my mind. Mauliate godang kakak dan abang. Kalau ingat ini, saya masih merinding. Dan menuliskan ini pun saya menangis haru. Bagaimana bisa orang yang tidak pernah terpikirkan, tapi Tuhan kasih menjadi perpanjangan tanganNya untuk membantu. God bless your kind heart and blessed soul kak.
2. Kantor dan bu Elmi, atas kiriman doa dan semangatnya
3. Bang Bagir, Kak Danan, Alfi, dan juga kak Tari. Terimakasih atas kiriman ransum-ransumnya yang luar biasa, sehat, dan bergizi. terlove kalian
4. Kak Imelda Medol. Kakaaaaak, kamu harus tahu, kamu itu bukan sekedar sahabat buatku. Beyond that kak.
5. Tim dokter, perawat isolasi, perawat medis, dan paramedis RSE Lubukbaja, dan kepada semua teman-teman baik yang saya kenal dan tidak kenal lewat sosial media yang mengirimkan doa-doa baik kepadaku.

Dan di atas segalanya, terimakasih dan syukurku kepada Tuhan Yesus yang telah menyembuhkanku dan juga kepada keluargaku. Tuhan memberikanku kesempatan hidup kedua. Terbebas dari Covid-19 ini. Dan kepada keluargaku, i know, you all praying without ceasing for me. Thankyou my family, i love you papa, mama, abang, kakak, adek, dan empat ponakanku. Thankyou. Thankyou all. Hormatku kepada semua dan Bless you all.


CONCLUSSION:

Covid-19 itu nyata. Terlepas apa penyebabnya di pikiranmu sehingga ini menjadi pandemi, jagalah dirimu. Lindungi dirimu. Pakai masker, jaga kebersihan, VAKSINLAH, dan BERDOALAH supaya ini berlalu. Lots of love, Chaycya. (THE END)

Video kesaksian sembuh dari Covid-19 cek di bawah ini:







14 comments :

  1. Hi, first time visitng your blog. Nice to know you. Good story. And syukur Alhamdulillah you survive. Please take care of yourself well. Thank you for sharing your story with me.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hi Fadima Mooneira, nice to know you too. Thankyou for visiting my blog and your attention. The same prayer to you. Stay safe and stay healthy.

      Delete
  2. Alhamdulilah dan syukur that you've made it. The vaccines helped you to fight the deadly virus. I hope all of us will be fully vaccinated and together we will win over the deadly virus.

    ReplyDelete
  3. Bila membaca kisah pesakit Covid, swbak rasanya. Tapi hairan masih ada lagi yang tak percaya Covid tu wujud & semakin mengganas. Bagus sharing awak ni, sekurang2nya membuka mata ramai bahawa vaksin tu perlu untuk membantu melawan Covid

    ReplyDelete
  4. Alhamdulillah sudah sihat sepenuhnya. Semoga penulisan ini menjadi iktibar dan peringatan kepada kita semua bahawa COVID-19 adalah benar. Dapatkan vaksin untuk memperkuatkan sistem imun. Sentiasa jaga penjarakan fizikal dan menjaga kebersihan ya. Di Malaysia kes setiap hari juga banyak. Angka kematian juga meningkat. Stay Safe ya!

    ReplyDelete
  5. Saya bekas pesakit Covid juga, ternyata memang real sakit covid itu kan. Moga kamu kembali sihat sepenuhnya segera ya.

    ReplyDelete
  6. Kamu seorang yang kuat. Syukur kamu sudah bebas dari Covid. Sama-sama kita berdoa moga covid ini cepat berlalu...Aamin

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillah , benar yang covid itu nyata tapi masih saja ada yang anggap itu hanya provokasi politik. Saya juga bekas pesakit covid19 stage 3. Bersyukur sangat sebab sudah sembuh sepenuhnya dan juga saya sudah lengkap 2 dos vaksin. Saya doakan semoga awak sihat selalu.

    ReplyDelete
  8. syukur dah lepas dari jangkitan covid durjana. stay safe dan take care . sama-sama doa agar dilindungi dari pandemik yang menyusahkan semua orang ni

    ReplyDelete
  9. moga cepat diberi.kesembuhan ya . jaga diri... terima kasih diatas perkongsian ini

    ReplyDelete
  10. Praise the Lord! Take care and stay safe okay.. mudah2an semua ini akan berakhir tidak lama lagi.. at least under controlled kan... Amen!

    ReplyDelete
  11. Alhamdulillah, segalanya dipermudahkan.. terima kasih atas perkongsian pengalaman sebagai pesakit posit covid 19 yg berjuang melawan pandemik ini.. tahniah dan semoga kita semua terus kuat..

    ReplyDelete
  12. Alhamdulillah. semoga semuanya sentiasa baik-baik saja :) ameen. stay safe yaa. musim pendemik mcmni kena ekstra careful. <3

    ReplyDelete
  13. Kak, baru pulang ke rumah. Kemudian liat blog kakak. Scroll down, ada postingan ini.

    Baca tulisan ini, Alfie jadi nangis. Kita harus sehat sehat ya, kak. Kakak jaga kesehatan selalu.

    Love you much, kak. Jaga kesehatan dan tetap semangat!

    ReplyDelete

Designed by catatan traveler | Distributed by catatan traveler