Mencicip Kuliner Kamboja di Warung Lokal Siem Reap

Well...Sebelum saya fokus ke judul utama, izinkan saya bertanya: Apa kabar paspor kalian? Kapan terakhir kali dichop? Belum lupa simpannya dimana kan?

Sabar....Pandemi Covid-19 membuat kita berada di musim yang sama. Membuat kita tak bisa traveling sebebas dua tahun silam dan tahun-tahun sebelumnya. Percaya saja, musim ini akan selesai atau setidaknya kita bisa berdamai. Dengan begitu, kita bisa kembali melakukan perjalanan, menikmati alam dan telusur peradabannya. Namun yang paling penting saat ini, doa kita bersama: Kita diberi kesehatan dan umur yang panjang oleh Tuhan, mampu menghadapi dan melewati pandemi ini.


 Mencicip Kuliner Kamboja di Warung Lokal Siem Reap. ( Picture taken by Chaycya/catatantraveler)

KAMBOJA
merupakan negara dengan peradaban budaya kuno di Asia Tenggara, dimana, sisa peradabannya itu masih bisa disaksikan di masa kini, yakni di kota candi, Siem Reap.

Provinsi di kawasan barat laut Kamboja ini terkenal karena peninggalan peradaban kunonya, yakni candi Angkor atau Angkor Wat. Atas dasar inilah, saya berkunjung ke Negeri Khmer ini, menginjakkan kaki pertama sekali di kota itu. Bukan di Pnom Penh, yang menjadi ibu kota negaranya. Alasannya, saya ingin menelusuri candi-candinya, melihat kemegahan peradaban zaman dulu.

Namun, mengenal suatu kawasan atau negara, selain melihat langsung peninggalan-peninggalan atraksinya, salah satu pendekatan yang paling mudah dan langsung dapat dirasakan pancaindera, yakni mencicip kulinernya. Cita rasa otentik masyarakatnya.

Dari cita rasa itu, kita mengenal karakteristik warganya dan karakteristik kawasannya. Bahkan kita jadi tahu sumber utama pangan keseluruhan masing-masing negara itu.

Penjual makanan kaki lima di Siem Reap, Kamboja. Mirip di Indonesia ya. ( F Chaycya/catatantraveler)

Dalam setiap perjalananku, wisata kuliner wajib tersemat. Ada pun orang Kamboja yang pertama sekali mengenalkanku kuliner di sana adalah Yan. Dia seorang supir tuktuk. Tuktuknya saya rental untuk mengelilingi Angkor Wat selama sehari dengan membayar USD 15 kala itu.

"Apakah kamu mau makan dulu atau langsung ke Angkor Wat?" tanya Yan.

"Nanti saja saat makan siang. Tapi jangan bawa saya ke restoran. Bawa saya ke warung lokal yang enak. Yang menjadi warung favorit warga di sini," jawabku. Act like a local, tagline yang diusung aplikasi kesukaan para traveler di seluruh dunia, Couchsurfing ini selalu saya jalankan setiap traveling. Saya berusaha dekat dengan warga lokal, menjalankan keseharian mereka saat berada di kawasannya.

Dia pun mengiyakan sambil melajukan tuktuknya menuju Museum Nasional Angkor, untukku membeli tiket masuk ke Angkor Wat.

Jadwal makan siang pun tiba. Memenuhi permintaanku, Yan membawaku ke warung warga lokal yang hanya berupa terpal seng dengan berdindingkan seng atau kain panjang. Mirip-mirip warung pecel lele di Indonesia. "Lha kok ke sini Yan," ujarku. Dia menyebut ya memang seperti itu bentuk warung lokal di sana.

Dia sempat membawaku berkeliling. Masuk ke kawasan hutan Angkor tempat sederet warung lokal dengan jenis bangunan serupa.

Saya pun meminta dia untuk kembali ke warung yang pertama. Warung itu di pinggir jalan kawasan Angkor Wat. Di sana, banyak para supir Tuktuk  dan warga lokal menikmati makan siang.

Di warung ini, saya mencicip dua menu kuliner khas Kamboja. Menu pertama, yakni:

  •  Trei Jien Joun (baca: Tri Cincun) atau Deep fried fish with stir fried ginger and salted soybeans.

Trei Jien Joun. ( Pict taken by catatan traveler)
 
Sebagai penyuka jahe dan ikan masak tauco, saya tertarik memesan menu ini.

Tiba-tiba, pemilik warung, seorang ibu setengah baya menyajikan menu ini di hadapanku. Tampilannya seperti ikan masak jahe di warung koko langgananku di Komplek Citra Mas. Cuma Trei Jien Joun ini tersaji lebih coklat dan sangat berminyak. Rasanya? Enak juga dimakan pakai nasi. Kalau dimakan begitu saja, rada asin.

  • Menu kedua yang kupesan adalah Pong Tea Jean Sorm. Kalau kata Joo, staf hotel tempatku menginap di Siem Reap, kalau ini diterjemahkan, artinya menjadi Telur kocok digoreng pakai irisan sayur hijau. Ya sudah, kupersingkat saja ini namanya: Telur dadar kalau di Indonesia. hahaha

Pong tea jean sorm. ( Picture taken by Chaycya/catatantraveler)

Kenapa ya telur diapain saja, rasanya enak? Ini menu favoritku di hari pertama di Siem Reap itu. Telur digoreng dicampur irisan kucai dan sayuran hijau. Wangi dan rasanya pas. Tidak asin.

Oh ya, oleh Yan dia menawarkanku daging babi yang dimasak dengan rebung. Warnanya putih dan berkuah. Saya tak tertarik. "Iciplah. Ini enak," ujarnya. Saya tolak halus bilang menu pesananku sudah bikin kenyang.

Di hari selanjutnya, saya memutuskan mengelilingi Kota Siem Reap. Dimulai dari kawasan pinggiran sungai, saya melihat aktivitas anak-anak menyeberang di lampur merah saat hendak berangkat ke sekolah, seorang pengemis yang kesulitan memperbaiki payungnya, hingga dua polisi lalu lintas yang mengenakan seragam biru muda dan celana berwarna gelap memberhentikan pengendara sepeda motor yang membawa buah-buahan.

Cuaca Siem Reap pagi menjelang siang itu sangat panas dan cenderung berdebu. Bikin lengket badan karena keringat dan tenggorokan sakit. Saya cepat-cepat balik ke penginapan.

Di sana, saya memesan Bai Cha seharga USD 5 dolar. Bai Cha ini, nasi gorengnya khas Kamboja. Nasinya lebih lengket dan oily. Dimasak dengan campuran jagung, babi, boga bahari seperti udang, wortel, dan juga kacang polong. Rasanya cocok di lidah.

Sore harinya, usai mandi, saya kembali mengeksplorasi kawasan Siem Reap Night Market. Membeli syal sutra buat nyokap. Lalu lanjut kulineran.


Kuy teav samlor. (Picture taken by Chaycya/catatantraveler)

Kali ini, menu pilihanku mie kuah khas Khmer atau kuy teav samlor. Menu ini disajikan dengan mie beras putih dicampur dengan aneka jenis sayur seperti wortel, labu, tauge, bawang prei, bawang goreng, dan juga campuran daging ayam dan daging babi. Kuahnya bening. Rasanya kaldu banget. Namun, kurang cocok di lidahku. Penyajiannya mirip Pho di Vietnam, tapi rasa? sangat jauh berbeda.

Sebagai hidangan penutup, saya membeli jus buah mangga di persimpangan tiga masuk kawasan Pub Street. Perut kenyang, saya pun melihat kehidupan malam di kawasan paling ramai di Siem Reap itu, lalu kembali ke penginapan.

Perlu diketahui, kuliner Kamboja merupakan kuliner lintas budaya. Hasil perpaduan cita rasa Thailand, Laos, dan Vietnam yang mengapitnya. CNN mencatat, kuliner negeri ini juga turut dipengaruhi cita rasa Rusia dan era kedatangan Bangsa Tiongkok ke sana.
BONUS: Sesudah kenyang, kakak catatan traveler keliling Pub Street di Siem Reap.

Selanjutnya, saya akan membahas kuliner tertua di dunia juga ternyata ada di Kamboja. Cuma karena itu saya cicip di Pnom Penh, nanti di postingan selanjutnya saja ya.  (*)


Food is not just the food that we eat. But the process of making it, become a taste of cultural heritage. All love, Cya


Disclaimer: Tulisan tentang mencicip kuliner Kamboja di warung lokal di Siem Reap ini merupakan hasil perjalanku sebelum pandemi. November 2018.

14 comments :

  1. Kalau travel, saya pasti akan mencuba kuliner tempatan tapi mestilah yang hanya halal. Kalau susah mencari yang halal, saya akan membawa makanan halal untuk dimasak. Harapan saya supaya Covid ini nyah dari bumi ini dan kita akan hidup aman.

    ReplyDelete
  2. Looks so sedap! After MCO, and if we can start travelling, I am going to pin this up and visit this place!

    ReplyDelete
  3. Salah satu wajib dicari kalau travel luar adalah makanan halal. Maklumlah food hunter kenalah rasa tapi pastinya yang halal. X sabar nk travel lepas ni

    ReplyDelete
  4. Yes. I love to taste food whenever I travel but I am not such a brave traveler too. I eat food if I see it is beautiful hahaha

    ReplyDelete
  5. baca ni jadi tak sabar nak travel. cepatlah covid ni menghilang dah tak sabar nak travel and having good food.

    ReplyDelete
  6. Tak pernah pergi kemboja lagi.. Nampak sedap foods dia..Pong Tea Jean Sorm ni macam nak buat sendiri je.. Telur kocok digoreng pakai irisan sayur hijau :D

    ReplyDelete
  7. Semoga covid cepat hilang dari bumi ini dan boleh lah kita travel kembali ke seluruh dunia kan? Seronok dapat travel dan merasai makanan tempatan di negara orang.

    ReplyDelete
  8. seronoknya bila baca pasal travel ni, rindu nak travel, jalan² lihat budaya orang. :)

    ReplyDelete
  9. bila baca ttg negara luar.. mmg ras arindu sangat..moga pandemik ini cepat berakhir dan kita boleh hidup seperti biasa mcm dulu

    ReplyDelete
  10. Bila baca entri ni memang rindu nak mengembara tapi apakan daya kita tunggu saja la sehingga pandemi ini berakhir...

    ReplyDelete
  11. Kalau travel, makanan tempatan paling saya suk mencari. Sebab kena cari kedai berstatus Halal itu seperti bermain Treasure Hunt. Kerana mahu Food Hunting kan. Hehe. Saya masih belum ke Kemboja. Passport last di cop adalah semasa ke Labuan Bajo, Indonesia. Rindu mau travel. Kes COVID-19 seperti tidak mahu berkurangan. Sedih.

    ReplyDelete
  12. Memang plan nak ke Cambodia two years back before pandemik.. tergendala plan.. another 3 Asian countries yang tak pernah sampai lagi... gonna try all these nanti..

    ReplyDelete
  13. your post is making me miss cambodia so much. their local food is amazing and their heritage is one of a kind. love this!

    ReplyDelete
  14. Kalau cerita pasal Kemboja ni makanan dia yang saya kenal hanya Sosej Kemboja ataupun Tongmo. Nasiblah kat sini senang nak dapat yang halal sebab rasanya memang sedap.

    ReplyDelete

Designed by catatan traveler | Distributed by catatan traveler