Tuol Sleng: Kengerian Genosida & Pertemuan dengan Chum Mey Sang Survivor

Penjara yang disekat. Satu ruangan diisi 12 napi. Tidak diperbolehkan berkomunikasi satu sama lain.
IBU kota Kamboja pagi itu mulai menggeliat, khususnya di pusat Sisowath Quay. Masing-masing warga mulai membuka tokonya. Sebagian lagi, ada yang menikmati jogging di taman kota di sepanjang pinggiran Sungai Mekong atau yang oleh warga lokal menyebutnya tonle sap. Sementara para biksu Buddha dengan jubah kuning kecoklatan, terlihat sedang bersiap-siap untuk puja di kuil emas yang bersebelahan langsung dengan istana Kerajaan Kamboja, Royal Palace. Ya, Pnom Penh di Kamis, 1 November 2018 lalu itu sudah terlihat sibuk. Padahal waktu baru menunjukkan pukul 06.40 ICT (Indochina Time).

Kamboja menjadi satu-satunya negara di kawasan Asia Tenggara yang pernah mengalami peristiwa genosida pascaperang dunia ke-2. Lebih dari dua juta rakyat atau sepertiga populasi negara itu kehilangan nyawa dengan cara kejam di bawah rezim totaliter Partai Komunisme Kamboja, Khmer Merah, yang dipimpin diktator Pol Pot. Peristiwa itu terjadi dalam rentang 1975-1979 lalu. Ladang pembantaian Choung Ek dan penjara Tuol Sleng di pusat Kota Pnom Penh menjadi salah dua dari sekian banyak sisa peninggalan sejarah kelam itu di masa kini. Semua pengunjung masih bergidik saat mengunjungi tempat ini. Padahal kejadian sudah berlangsung 39 tahun yang lalu.

Dengan menaiki tuk-tuk, sejenis becak yang menjadi alat transportasi publik di kota ini, hari itu, saya dan teman dari Prancis, Jeanne memutuskan mengunjungi penjara Tuol Sleng. Kini menjadi museum genosida. Di masa kekuasan Pol Pot yang mendapat dukungan penuh dari Pangeran Norodom Sihanouk yang dilengserkan dari kerajaan, tuol sleng ini merupakan bekas sekolah yang dijadikan penjara sekaligus kawasan interogasi yang dikelilingi jaringan listrik bertegangan tinggi, yang dulu dikenal dengan kode security S-21.
Bekas sekolah yang dijadikan kamp konsentrasi S-21.
Siapa pun yang masuk ke dalamnya, pasti berujung kematian. Umumnya, yang masuk ke sana adalah warga dari kalangan profesional dan cendekiawan, termasuk keluarganya, biksu, para tentara Lon Nol, dan sebagian besar rakyat Pnom Penh yang kala itu dianggap sudah terpengaruh kapitalisasi Barat. Sebanyak 20 ribu warga Kamboja tewas di kawasan penyiksaan ini.

Dari penginapan di Sisowath Quay, jarak ke Tuol Sleng ini sekitar 3,8 km. Lokasinya berada di tengah kota. Di pusat perumahan penduduk yang padat diantara persimpangan tiga yang sibuk. Sekilas, tidak ada yang spesial. Lokasinya, layaknya pemukiman padat yang berdebu di negeri ini. Pintu masuk bertuliskan 'Tuol Sleng Genocide Museum' menjadi pertanda. Memasuki kawasan itu, pengunjung wajib membeli tiket. USD 8 untuk audio tour guide, atau USD 5 untuk pengunjung tanpa audio tour guide.
Regulasi keamanan yang tidak manusiawi.
Hal pertama yang terlihat, begitu melewati gate masuk, adalah taman utama. Di sana, ada papan berisi regulasi keamanan Khmer Merah dalam tiga bahasa: Khmer, Prancis, dan Inggris (Membaca isi regulasi ini saja saya langsung ngeri dan lagi-lagi bergidik).  Di belakangnya ada kuburan sekaligus prasasti berbentuk peti berwarna putih yang dibatasi dengan tali. Di sebelah kiri, di depan gedung lainnya, ada tiang gantungan dari kayu diantara pohon Kamboja. Di bawah tiang itu, ada tiga guci semen yang sudah lumutan. Di masa Khmer Merah, para warga cendekiawan atau anak-anak yang menjadi tawanan, apabila tidak mematuhi regulasi keamanan Khmer Merah, tangannya diikat ke belakang, digantung di sana, lalu dijatuhkan ke guci yang diisi air dan dialiri listrik, dikurung di ruang 0,5x1 meter, sebelum akhirnya dikirim ke killing field.

Proses pengirimannya tak mudah. Masing-masing korban disuruh mengenakan pakaian ala khmer, seperti piyama berwarna hitam dan syal kotak-kotak. Mata mereka ditutup kain hitam, sebelum ditembak, atau disiksa, dijatuhkan ke satu lubang. Sungguh sangat jahat dan tidak berperikemanusiaan sekali.

Seluruh pengunjung dari multinegara pagi itu bergidik. Sebagian besar geleng-geleng kepala melihat masing-masing ruang bekas sekolah berlantai tiga yang dijadikan tempat konsentrasi: interogasi dan ruang pembantaian. Lantai-lantai sekolah dengan bekas bersihan genangan darah masih terlihat di sana yang ditandai dengan lantai berwarna coklat, demikian halnya juga dengan dindingnya. Di sana ada dipajang satu foto korban yang sudah tewas dengan darah menggenang di ruangan tersebut sebagai pengingat. Tempat tidur besi, tikar anyaman plastik yang sudah lapuk, rantai kaki, jerigen yang warnanya buram dimakan usia, dibiarkan pada posisi sama seperti kala digunakan saat interogasi di masa itu.
Ruang interogasi. Dimana korban diinterogasi sambil disiksa.
Sementara di gedung sebelahnya, dari gedung sebelah kiri pintu masuk, berpindah ke gedung C di seberangnya. Di ruang ini, satu ruang kelas dijadikan 12 ruangan yang hanya disekat dengan batu bata. Dindingnya dijebol untuk membuka akses ke ruang sebelahnya. Masing-masing ruangan kecil itu merupakan tempat tahanan.
Ruangan Chum Mey.
Di bangunan lainnya, dengan akses sempit dari dinding yang dijebol, ada ruangan besar. Ruang penyiksaan dan interogasi. Tapi kini, ruangan itu berubah fungsi menjadi ruang pameran. Foto-foto para korban tuol sleng dari mulai perempuan, laki-laki, anak-anak dipajang di sini. Bahkan sebagian pakaian para korban seperti pakaian anak-anak, jubah jaksa, seragam tentara zaman Lon Nol, serta tengkorak sebagian korban dipajang di sana. Sebagian besar pengunjung yang masuk ke ruangan ini akan diliputi perasaan sedih dan emosional.
Kiri: Dokter spesialis: Kanan: jaksa. Seluruh pegawai pemerintahan, kalangan profesional di Kamboja saat itu dibersihkan. Katanya tidak sesuai dengan paham keselarasan komunisme.

PARA pengunjung melihat foto-foto para korban. Jadi, setelah ditangkap, para korban akan disuruh mencelupkan pakaian mereka ke rendaman buah murbey. Saat mereka diinterogasi dan disiksa, mereka diambil foto-fotonya. Kala itu mereka dianggap penghianat dan oleh angkar harus dibersihkan.
Saya keluar, diikuti Jeanne. Sangat menyeramkan dan menyedihkan melihat itu semua.  Dari teras bangunan itu, memandang sekeliling taman di tengah. Bendera Negara Kamboja berkibar akibat hembusan angin di tengah terik matahari. Saya berjalan menyusuri bagian kanan kawasan Tuol Sleng. Di sana, ada banyak prasasti yang mengelilingi taman, bertuliskan nama-nama korban dalam aksara Khmer. Berjalan ke arah kanan, tiba-tiba seorang pria paruh baya, mengenakan kemeja biru, memanggilku dari kursi tempat ia duduk.

"Hello, come!!! I am a survivor. Please help me to buy this book. This is my story," ujarnya menyapaku sambil menunjukkan buku-buku berjudul Survivor yang digelar di atas meja di depannya. Rambutnya beruban. Di sana, ia ditemani seorang perempuan mengenakan baju liris berwarna dasar putih. Staf museum.
Chum Mey
Saya mendekatinya.  Berkenalan dengannya. Namanya Chum Mey. Usianya 86 tahun. Dia salah satu dari tujuh yang berhasil selamat dari penjara Tuol Sleng. "Bagaimana saya harus memanggilmu?" ujarku.  "Panggil saja dia kong Chum Mey (kakek Chum Mey)," jawab perempuan yang bersamanya.

Dari tujuh korban yang selamat, kini hanya tinggal dua yang masih hidup. Yakni Chum Mey dan Bou Meng.  Chum Mey duduk di sebelah kanan dekat warung kecil di bawah pohon, menjajakan bukunya. Sementara Bou Meng duduk di seberangnya di teras tempat para turis beristirahat menjajakan lukisan yang ia buat.

Chum Mey mengisahkan hidupnya telah berubah sejak rejim Pol Pot merebut kebebasannya. Di masa Khmer merah ia bekerja sebagai mekanik. Namun, 28 Oktober 1978, dari tempat kerjanya, mendadak ia ditangkap. "Mata dan kepala saya ditutup. Tangan saya diikat ke belakang. Saya tak tahu apa yang terjadi. Tiba-tiba sudah berada di Tuol Sleng ini. Kepada yang menangkapku, saya memohon, setidaknya kasih tahu alasan mengapa ditangkap, dan mohon beritahu kepada keluargaku. Tapi, jawaban mereka, bahwa kami semua akan dibersihkan oleh angkar (istilah pemimpin yang dipuja di zaman Pol Pot). Dibinasakan," kenang Chum Mey.

Di ruang 022 S-21, ia dijebloskan. Dipasung. Sementara istri dan anaknya tewas di tangan Khmer Merah. Ia kini sebatang kara. Hidup dari penjualan buku Survivor miliknya yang dihargai USD 10 (Rp 152.500) per eksemplar.

Tiba-Tiba, Chum Mey mendadak diam. Ia menyebutkan, tiga kali sehari, dari ruang 022 itu, ia dikeluarkan untuk disiksa sekaligus diinterogasi oleh para tentara-tentara Khmer yang rata-rata masih usia belia, bahkan remaja. Dicambuk, disetrum, bahkan matanya dicongkel . Itulah sebabnya, mata kanannya tak berfungsi normal lagi. "Simalakama. Diam salah, bersuara salah. Kang prawattasas (Roda zaman. Kata ini dipakai rejim Khmer Merah untuk istilah eksekusi) bisa menggilasmu setiap detik. Setruman listrik bisa mengeringkan darahmu. Hidup seolah berhenti di sini, tapi harus melihat waktu berjalan dengan kesakitan," ujarnya.

Dari raut wajahnya yang kini mengerut, saya melihat kenangan atas pandangannya yang jauh ke belakang. Dia tak ingin kembali ke masa kelam 39 tahun lalu. Satu tahun ia berjuang bertahan hidup di tengah siksaan penjara tuol sleng. Di bangunan ini. Ya sekolah ini, pernah menjadi penjara terjahat bagi hidupnya.

Chum Mey menyebutkan, kadang ia ingin kembali ke waktu dimana ia dan istrinya masih hidup bersama anak-anaknya. Tapi ternyata, ia tak bisa berkompromi dengan waktu. Kadang ia ingin mengerjai waktu, tapi waktulah yang mengerjainya. Waktu tak pernah kembali. Ia tak boleh menawarnya.

Waktu, kadang sangat jahat baginya kala ia merindu keluarganya. Namun, kepada waktu ia berterimakasih, karena ia telah dibebaskan dari tangan-tangan pembunuh massal yang sempat merenggut kebebasannya bernegara, berkarya. Dan bahkan, menghirup udara kala itu ia merasakan ketakutan. "Beruntung di mulut kematian, di tangan marabahaya, saya diselamatkan di waktu yang tepat bersama tujuh tahanan lainnya dari sini," kenangnya.

Saya penasaran. Di tempat ini ia disiksa, tapi di tempat ini juga hampir setiap hari ia datang selama beberapa tahun terakhir ini. Apakah ia tidak trauma dengan tempat ini? apa tidak menjadikannya semakin dendam kepada rezim Pol Pot?
Pol Pot (sebelah kiri) dan para rejimnya.

Salah satu anggota rejim Pol Pot yang disidang disaksikan PBB. Masing-masing petinggi Khmer Merah dihukum seumur hidup dan para anggotanya diasingkan ke hutan perbatasan Kamboja sebelum akhirnya diputuskan deklarasi damai oleh PBB.
Chum Mey menyebutkan, kini ia tak lagi merasa trauma tapi dendam kepada rezim Pol Pot masih ia rasakan sampai sekarang. Bertemu banyak orang setiap harinya di tempat ini, membuatnya bahagia dan terhibur. "Tetapi tidak di masa-masa awal. Saya melangkahkan kaki ke sini sangat berat. Setiap saya ke sini, wajah istri dan anak-anak saya yang terbayang. Dimana mereka? Apakah mereka sempat jadi budak? Apa mereka kelaparan lalu tewas? Tapi saya percaya mereka di tempat yang nyaman sekarang. Giliran saya. Saya harus membuka mata dunia ini, bahwa penting melindungi hak setiap orang. Jangan biarkan hak di sekitarmu diinjak dan diambil. Ketika itu diambil, percayalah akan tiba giliranmu," ujarnya.

Setiap hari, Chum Mey bisa menjual lebih dari 100 eksemplar bukunya, dimana setiap eksemplarnya dihargai USD 10. Tak hanya itu, ia juga melayani dengan ramah para pengunjung dari berbagai negara yang ingin berfoto dengannya.

Chum Mey menyebutkan, dalam bukunya Survivor yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris itu, ia mengungkapkan bagaimana ia berhasil bebas dari tuol sleng dan menjadi saksi mata hingga sekarang.

"Lewat buku ini, saya ingin menyuarakan kepada seluruh dunia, khususnya masyarakat Kamboja, jangan melupakan sejarah yang menempahmu. Hidup di bawah rezim Khmer merah yang komunis itu utopis yang berujung ke penderitaan. Perang saudara yang berujung kematian massal. Jangan biarkan itu memecahbelahmu. Lindungi hakmu, lindungi negaramu," tutupnya. ***

BONUS: Saya, si Catatan traveler dan Jeanne foto bersama dengan latar belakang ruang berkawat. Dulu, di zaman pembantaian, ruangan ini dialiri listrik bertegangan tinggi.
TULISAN ini juga telah diterbitkan di Halaman 1 Batam Pos, edisi Feature, Jumat, 9 November 2018.

30 comments :

  1. Kira-kira bisa disebut seperti lobang jepang ga sih kak?

    By the way kalau di Sumatera Utara, tuk-tuk memiliki rasa yang lezat. Hihihi

    ReplyDelete
    Replies
    1. Maksudnya Fie? Lubang Jepang seperti apa?

      Klo di Toba, Tuktuk itu sambel yang enak. hehe

      Delete
  2. Melihat foto- fotonya, seperti muncul kengerian di masa lampau kak Chay, sedih sekali. Jadi ingat waktu berkunjung ke Camp Vietnam, rasanya sendu dan pilu gitu. Apakah kalau di sini juga terasa hal yang sama?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya.. Sendu, pilu, pengen nangis, marah. Nano-nano semua perasaan.

      Delete
  3. Saya gak sempat ke sini waktu ke Phnom Phen. Malah main di sekitaran Palace dan pinggiran sungai. Trus cobain masakan Indonesia di Cafe Bali.

    ReplyDelete
  4. Dateng ke tempat kaya gini trus bisa lihat langsung rasanya pasti beda sama yg liat di tivi-tivi ya. Pasti lebih merinding disko. Sedih ya ada orang yg sampe kejam banget gt.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya. merinding.. Beneran banget mbak. Kejam sekali.

      Delete
  5. Wisata sejarah. Jd tau peristiwa bersejarah. Thx Kak Chay sudah menceritakan dg ciaaamikkk.. Luar biasa

    ReplyDelete
  6. Gimana rasanya jadi kakek chum may yang di siksa, pasti sangat sedih dan dendam

    ReplyDelete
  7. Duh miris bacanya, jadi merinding.. Luar biasa perjalanan kk yaaa sampai ke tempat ini..

    ReplyDelete
  8. Ya ampuun nggak kebayang ya sulitnya hidup di zaman Khmer Merah berkuasa. Btw mereka menyiksa rakyatnya sendiri itu kenapa ya Chay? Sudah gila kali mereka ya. Sadis amat.

    ReplyDelete
  9. Kayak camp Vietnam mungkin kalau dibatam yah. Kamboja emang destinasi yang menyimpan misteri..layaknya Vietnam.

    ReplyDelete
  10. Wow..... Luar biasa sekali sejarahnya.... Aku sampai bergidik membacanya.... Seorang traveler meranggkap jurnalis pasti kupas tuntas tulisannya. Suka sama featurenya

    ReplyDelete
  11. masyaaAllah ngerinya kak. aku kok jadi keinget kamp vietnam yaa jadinyaa

    ReplyDelete
  12. Menarik ni menjelajah sejarah suram Kamboja... Tapi uang masuk ke objek wisatanya lumayan mahal juga ya.. hitungan dolar Cin..... secara rupiah terseok, jadi kalau 5 dolar aja da 75 ribuan ya satu objek wisata. hehehe

    ReplyDelete
  13. Baca ini aku jadi ikut merinding sekaligus geram, Chay.. Caramu bercerita bikin aku jadi terbawa emosi. Makasih sudah menuliskannya dengan sangat apik dan rinci

    ReplyDelete
  14. Setelah baca ini, rasanya cukup sampai membaca ttg Tuol Seng, gak tega kalo harus ke situ hihi. Walau Situs sejarah selalu menarik perhatian saya karena banyak pelajaran yang bisa dipetik hikmahnya.

    ReplyDelete
  15. Aku waktu masuk ke tempat ini, mendengarkan cerita elektronik guide, jadi pengen nangis. Antara RI dan sedih memikirkan nasib orang-orang yang pernah jadi korban di sini. Terus sambil marah juga kepada pol pot. Pokoknya 1001 lah perasaan ..

    ReplyDelete
  16. Bergidik mb aku bacanya...kok ada ya orang yang tega merancang sebuah kematian untuk orang lain dengan cara yang begitu mengerikan...semua dilakukan demi kekuasaan...miris... Btw tfs mb....

    ReplyDelete
  17. Aku tuh kalau ngikutin kisah sejarah di Kamboja dan sepak terjang Pol Pot, bingung lho. Kok ada orang sekejam itu. Dan nurut lagi ama dia. Udah gitu bisa genosida ribuan orang. Ngebayanginnya bikin bulu kuduk berdiri...

    ReplyDelete
  18. Seram sekali ya, melihat bukti kekejaman Polpot. ketemu Chumey sang survivor. Tapi perlu wisata sejarah seperti ini supaya selalu diingat Dan tidak terulang kembali di dunia

    ReplyDelete
  19. Ahhhh...saya pingsan kali ya kalau main ke sini :(

    ReplyDelete
  20. Syereeem ah liat foto diorama penyiksaannya hiiiiii 🙄😎 Kejamnya kelewatan ga berperikemanusiaan ya zaman kekuasaan Polpot ini si Khmer Merah. Merinding ih penjaranya menakutkan gitu...

    ReplyDelete
  21. Aku baca ini begidik lho mbak.
    Perang itu selalu kejam ya. Kalo jaman dulu perang fisik, siksaannya siksaan fisik, jaman sekarang ada perang pikiran dan strategi. Duh.

    ReplyDelete
  22. Tahun 70an, ketika Indonesia sedang berlangsung membangunan infrastruktur. Sementara di Vietnam, negara tetangga kita sedang terjadi kekejaman. Kontras sekali ya Mbak.

    Sulit membayangkan ruangan-ruangan mungil tempat penyiksaan. Kejamnyaa.

    Semoga tak ada lagi rejim seperti ini. Demi kekuasaan sampai menghilangkan nyawa orang

    ReplyDelete
  23. Wow, tulisan yang bagus sekali.
    Saya ikut terbawa emosi membaca tulisan ini.


    Sehat kerus Kong Chum Mey agar engkau bisa terus bercerita kepada orang-orang tentang kebaikan Tuhan yang engkau rasakan

    ReplyDelete
  24. Duh antara nangis dan marah bacanya, betapa kejamnya ya, jadi ingat cerita komik Miiko yang ketemu korban kekejaman bom atom di Jepang..emosinya sama..

    ReplyDelete
  25. Aku sampe merinding bacanya.
    Serem bangett, e tapi lokasinya angker ngga gitu ngga ya Mba?
    Kebayang kalau ke sana udah keder duluan. Hehhe

    ReplyDelete

Designed by catatan traveler | Distributed by catatan traveler