No Signboard Seafood: Ekspansi Tempat Kuliner Tertua di Singapura

Kepiting Pedas ala No Signboard Seafood. Photo by No Signboard Seafood Restaurant, Singapore.

"CHAYA klo sudah check out dari hotel kabarin ya? 05.00 pm saya pulang kantor. Kita meet up di HF saja ya?" Bunyi Whatsapp ini datang dari seorang teman yang sudah saya anggap kakak sendiri, kakak Imelda, yang selalu kupanggil kak Medol. Dia seorang accounting di perusahaan multinasional di Singapura. Saat kami bertemu itu.

<< INTERMEZO>> Perkenalanku dengan kak Medol ini nggak disengaja. Pada 2010 lalu, saya liputan bareng dengan reporter Trans 7, bang Benny Dermawan di Johor Bahru, Malaysia. Kami memenuhi undangan dari Kesultanan Johor untuk acara kembara sekaligus peresmian JB Central. Dari pertemuan karena tugas jurnalistik itu, maka jadilah saya berteman hingga sekarang dengan bang Benny. Nah, kak Medol ini temannya bang Benny, sesama anak marching band UI. Saat itu saya sering komen-komenan dengan bang Benny di akun medsos masing-masing. Jadilah kenalan sama kak Medol. Awalnya kak Medol salah sangka, bahwa saya pacar barunya bang Benny. hahaha.. Akibat salah sangka itu, bertemanlah kami hingga sekarang. Dia ke Batam, kami meet up, saya ke Jakarta juga pasti meet up. Bahkan, kepada kak Medol saya kadang curhat mengenai something break my brain, dan selalu dia kasih solusi, selalu menguatkan. Kak Medol itu sudah seperti kakak kandung sendiri deh. >>

Saya checkout dari Festive Hotel di Sentosa sekitar pukul 16.00 WIB.  Tadinya sih niat ke Mustofa Flaza dulu untuk beli parfum dan oleh-oleh untuk dibawa pulang kampung, tapi akhirnya saya urungkan. Belanja di Vivo Plaza saja.

Sambil menunggu kak Medol, saya beli beberapa coklat dulu di Chocoa Tree. Mau saya bagikan buat ponakan.
"Kakak, saya lagi di Vivo. Kalau sudah sampai HF station kabarin ya? biar Chaya langsung ke sana, " chatku.
"Tunggu di sana saja. Saya masih di MRT. Sudah di Outram kok," balasnya.
Saya pun lebih leluasa lagi memilih beberapa coklat dan juga wafer kesukaan sambil menunggu.

Maka bertemulah kami. Pertemuan selalu tidak jauh dari ngobrol-ngobrol dan makan-makan.  Dimana ya yang enak ngobrol sambil makan? Mau ke The Chop House ya ampunnnnn antri banget. Maka jadilah kami memilih nongkrong sambil menikmati dinner di No Signboard Seafood.
Saya dan kak Medol di No Signboard Seafood Restaurant, Vivo.  Makannya berdua saja tapi menunya banyak yaaah.
Di restoran ini, kami memesan menu signaturenya. yakni: kepiting saus pedas (Alaskan chilli crab), ayam crunchy saus lemon, jamur saus tiram, dan manto. "Waduh makanan berkolesterol semua," ujarku.

Maka untuk menetralkannya, sengaja kami memilih teh Cina dan dessert puding mangga sebagai penetralisir.

Sambil memilih menu, di meja bulat itu kami ngobrol ngalor-ngidul. Tanya kabar dan kesibukan masing-masing.

Tak berapa lama, hidangan kepiting Alaska dan semua menu yang kami pesan pun datang. Doa, lalu makan. Itu menu enak banget.  Kepitingnya segar dengan saus yang menyatu. Ayam saus lemonnya juga juara. Kulitnya renyah tapi daging dalamnya tender dan juicy gurih. Kami sengaja tak pesan nasi. Diganti manto atau roti goreng.  Pokoknya makan saat itu puas. Porsinya banyak. Kami berdua tak sanggup menghabiskannya. Maka jadilah dibungkus.


Di restoran ini, boga bahari memang menjadi signature menunya dari awal berdiri hingga kini. Meski harganya premium, tapi restoran ini selalu ramai, baik oleh Singaporean, maupun para pendatang.


Jadi ternyata, restoran No Signboard Seafood ini merupakan salah satu dari dua restoran tertua di Singapura yang masih bertahan hingga sekarang sejak 1979. Bermula di 414 Geylang Road, hingga akhirnya sukses buka cabang di beberapa kawasan mewah Singapura, seperti di Vivo City, Clarke Quay, dan Esplanade.

Masa kini, perkembangan dunia kuliner sangat melesat cepat. Hampir dari berbagai belahan dunia, menghadirkan menu-menu kuliner kekiniannya dengan penyajian ala gastronomi. Lantas bagaimana dengan restoran ini? Apakah mereka memilih ekspansi atau tetap mempertahankan signature menu sebagai ciri khasnya?


Manajemen restoran ini sekarang, dipegang oleh generasi ketiga. Sam Lim namanya. Restoran ini didirikan neneknya. Sebagai generasi milenial, ia juga memilih ekspansi. Namun tidak menghilangkan signature menu di restorannya melainkan ekspansi manajemen ke bisnis baru.


Mengawali ekspansi, mereka mengakuisisi bir asal Denmark, Draft, dan menjandikan mereka sebagai distributor tunggal di Singapura. Perubahan pun terjadi. Yang tadinya bir hanya tersedia dalam bentuk botol, dan dipasarkan ke pub dan bar, tapi Sam Lim mulai memproduksi juga dalam bentuk kemasan kaleng. Dengan begitu, bir ini bisa dipasarkan ke berbagai supermarket. Dan benar saja, bir ini sudah masuk di NTUC FairPrice dan Sheng Siong.


Selain bir, restoran ini juga telah menandatangani perjanjian waralaba 10 tahun dengan hotpot Little Sheep atau restoran Xiao Fei Yang dari Tiongkok. Mereka akan membuka satu gerai tiap tahunnya di Singapura.
Hotpot Little Sheep. Picture Facebook Edison by Channel News Asia.
Restoran ini memilih Little Sheep karena rekam jejaknya di Tiongkok dan Amerika Serikat sudah baik. Eksistensi mereka sebagai restoran seafood yang diminati, membuatnya tidak perlu menunggu bertahun-tahun untuk mendapatkan pengakuan merek.

Sam Lim memang benar-benar turunan dari neneknya. Ada saja ide bisnis kuliner yang dia sajikan. Kalau Anda ke Singapura, ketemu stand burger Hawker di Esplanade, percayalah, itu bagian dari bisnis kuliner No Signboard Seafood. Burger ini no lard, no pork alias halal.
Dengan No Signboard Seafood berekspansi tanpa meniadakan signature menunya, menghadirkan konsep menu cepat saji, adalah cara termudah untuk memperkenalkan makanan Singapura kepada dunia. Salut!!! ***

22 comments :

  1. Kalo ke singapura aku ajakin suami makan seafood di sana ah. . Itu kepitingnya serius menggoda bangeeeeet :)

    Kalo little sheep shabu emang enak mba. . Cabangnya di jkt ada di daerah hayamwuruk. Aku sekali kesana dan sukaaaa banget ama hotpot nya. Sebanding lah ama hrgnya yg lumayan :D.

    ReplyDelete
  2. Jadi pengen makan seafood tibatibaaa

    ReplyDelete
  3. waduuh dari tahun 1979 ? belom lahir kita tu ni resto udah ada...salut sampai sekarang masih bertahan dan malah makin berkembang..

    ReplyDelete
  4. Nama restaurantnya super unik tapi makanannya kelihatan enak sekali... Apalagi seru-seruan dengan teman

    ReplyDelete
  5. Pengusaha yang pemikirannya besar banget. Makanya restonya jadi bisa bertsjan dan sukses ditambah dgn kualitas makanan dam pelayanan. Ini sudaj termasuk restoran kelas atas kan ya.

    ReplyDelete
  6. Keren ah, resto ini udah "tua" tapi tetap berjaya.

    ReplyDelete
  7. Yess, ada keunikan dari rasa yang tidak berubah ada. kadang malah itu yang kita cari..

    mempertahankan memang susah yah kak, apalagi melihat perkembangan kuliner sekarang tapi jujur jika kita mengikuti arus kuliner sekarang tanpa ada khas yang membuat kuliner kita dicari, bisa jadi gak bertahan gak sihh..

    ReplyDelete
  8. Baca soal perkembangan bisnis ini jadiii, *Ting* ingat CrazyRichAsian 😁.

    ReplyDelete
  9. wahh udah lama juga, 1979 dan sukses membuka cabang.
    wajib coba kalau berlibur ke Singapura nanti

    ReplyDelete
  10. Jadi ingat saat masih kerja di Singapura. Majikan selalu bawa saya makan di menu seafood kalau lagi keluar. Mereka cari yang gampang kalau gak seafood ya vegetarian. Menghindari yang tidak halal maksudnya hehehe

    ReplyDelete
  11. Berdiri sejak 1979,sudah tua ya. Namun tetap bertahan dan berkembang tanpa meninggalkan ciri khasnya. Luar biasa.

    ReplyDelete
  12. Duh ngiler bacanyaa. Menunya enak2. Tampak Mahal kelihatannya ya. Dulu pernah makan Kepiting di resto pinggir Clark quay , pas bayar sampe $800 an huhuhu . Tapi sekali2 gapapa lah ya. Apalagi kalaubdi tempat legendaris kayak gini

    ReplyDelete
  13. Seafood aku sukaaa. Duh...kepiting pedasnya, ngiler deh. Walaupun makannya pasti belepotan, tapi cueklah. Enak dan puas ini...Kapan-kapan kali ke Sing mau mampir ah.

    ReplyDelete
  14. Merupakan salah satu restoran tertua di Singapura? Wah, hebat juga. Btw, banyak banget makannya ...

    ReplyDelete
  15. Untuk urusan seafood, saya nggak ngiler kali ini, karena saya nggak makan seafood :)

    Untuk Sam Lim, tugasnya sebagai generasi ketiga memang lebih berat. Dia harus bisa mempertahankan yg sudah ada di tengah kepungan makanan dan resto baru yg terus berdatangan. Salut dengan Sam Lim yg terus memutar otak agar bisnisnya tetap berjalan :)

    ReplyDelete
  16. Tet, ajak2 lah klo jalan2 ke singaparna..

    ReplyDelete
  17. Namanya No Sign board, tapi menu yang ditawarkan jadi Tenggara ya Mbak. Aku ikutan ngiler membayangkan Alaska chill Crab-nya. Serasa nendang banget makan malam malam bersama teman tercinta

    ReplyDelete
  18. Apakah resto ini halal mbak? Jadi pengen nyobain nanti kalau pas ke Singapore lagi. Karena aku jarang ke daerah sana kalau di Spore.

    ReplyDelete
  19. Duuhhh...harus bawa duit cadangan nih, secara kalau saya ngetrip bawa duit pas2an, tapi kl makan disini dijamin khilafff....duhhh

    ReplyDelete
  20. Waaah kepitingnya menggoda. Kalau suamiku suka bangeet niih..

    ReplyDelete
  21. Harga kepiting di Singapura berapaan ya Chay? Mahal nggak sih? Ngebandingin dengan harga di Batam saja aku udah waswas hehe. Tapi yakinlah kualitas masakan seafood di sana lebih higienis ya.

    ReplyDelete

Designed by catatan traveler | Distributed by catatan traveler