40 Menit yang Menegangkan Bersama Lion Air


Foto ini saya abadikan setelah turbulensi. photo taken by Chahaya OS

CUACA sejak malam sebelum keberangkatan ke Bandung memang tak bersahabat. Hujan deras disertai angin kencang berlanjut sampai pagi, seolah semesta turut bersekongkol menyatukan suasana senada isi hati. Minggu pagi di 7 Februari, saya memutuskan berangkat ke Bandung. Melihat langsung masa kritis ayah pasca-operasi pengangkatan empedu dan penanaman selang di paru-paru akibat asma turunan, bronkhitis akut dan pankreas yang membengkak.

Dua hari sebelum keberangkatan, kembali duniaku digemparkan. Mendengar kabar ayah kembali masuk ke ruang ICU karena mendadak kejang, kedinginan dan kritis. Mama dan tante menangis memberitahukan kabar tersebut. " Datanglah ke Bandung inang (panggilan sayang orang batak ke anaknya perempuan). Asa bereng bapakmon di tikki ngoluna (biar sempat kamu lihat bapakmu saat hidup," ujar mama tersedu-sedu lewat jaringan ponsel di telingaku. Duniaku kembali runtuh. Tanpa sadar, menyenderkan kepala ke samping lemari lantas berujar "Tuhan, apa tahun ini Engkau memanggil bapakku dengan cara seperti ini? Apa tahun ini saya tak punya bapak?" Tangisku pecah. Tak kuhiraukan lagi suara tangis yang kuat di kamar petak itu. Saya berseru-seru memanggil kata "bapa.. Pae.. Jangan pergi, mohon sembuhlah". Tak peduli ada orang di luar mendengar.

Keluarga gempar. Paling gempar dibandingkan bulan yang sama satu tahun lalu ketika kami mendengar ayah jatuh sakit, mengalami stroke ringan. Duniaku berkabut, tubuhku serasa ringan, lantas terjatuh dan berseru "Tuhan, jangan ambil bapaku.. Saya belum membahagiakannya. Dia bersama mama belum menuai apa yang mereka tanam dengan air mata kepada kami anak-anaknya. Mohon Tuhan..tolong" ujarku.

Tuhan menguatkanku.. Berangkat ke kantor dengan perasaan hampa. Di angkot, saya lantas mencari penerbangan. Jumat  tidak ada penerbangan available. Kuputuskan berangkat hari Minggu, sekitar 13.45 menggunakan maskapai pesawat Lion Air.

Kak Rini, tetangga sebelah kamar yang sudah kuanggap sahabat menguatkanku. Dia sudah terlebih dulu kehilangan ayah. Kepadanya aku tak sanggup lagi menahan sedihku, air mata yang kembali kutahan akhirnya tumpah. "Kak, bapakku kritis. Aku belum siap kehilangannya. Sampai kapan pun". Dia menenangkanku layaknya saudara.

Kuasa Tuhan bekerja mengirim orang-orang untuk menghiburku.

 Jumat, 5 Februari 2016

Saya bekerja dan datang ke kantor seperti biasa. Tangis pecah di angkot saat kembali melihat foto ayah yang terbaring siap dibawa ke meja operasi. Adik bungsu tampak melap matanya yang basah air mata sehabis mencium kening ayah. Di sampingnya, tim medis tampak bersiap mendampingi ayah. Tangisku pun makin menjadi melihat foto tersebut. Kujadikan foto profil di laman Blackberry Messenger (BBM)ku.

Di kantor, giliranku membaca listing laporan berita dari para reporter di hadapan rapat editor. Sebagian rekan editor tampak melihatku dengan was-was dan iba. Merasa aneh. Kenapa? Lantas kata hatiku mengatakan "apa karena mereka melihat DPku di profil BBM?". Saya tetap mencoba tenang seolah tak terjadi apa-apa. Hingga kelar rapat editor pun, saat editing dan mengerjakan halaman pun saya mencoba tenang meski pikiran berkecamuk, seribu satu kata-kata penguatan untuk menenangkan. Namun, tetap saja air mata selalu menggenang, hingga akhirnya beberapa kali ke kamar mandi untuk menumpahkannya dan menutupinya dari kantor.

Tugas editor selesai. Saya memberanikan diri minta izin langsung ke Pimred, bang Iqbal. Meski sudah menarik nafas dalam-dalam supaya tetap tenang dan kalam, tetap saja saya menangis dan butuh beberapa saat untuk minta izin. -Sebut saja saya cengeng, saya tak perduli-. Bang Iqbal dengan berbaik hati mempersilakan, dan saya merasa bersalah kepada reddpel Yahya Burlian yang sudah duluan cuti. Probis benar-benar melompong tidak ada yang urus. Simalakama. Antara keharusan dan tanggung jawab yang sama-sama menjadi kewajiban. Dua-duanya sama-sama penting dan saya ingin sekali melihat ayah yang terkulai lemah di RS.

Minggu,7 Februari 2016
Pukul 12.45 WIB, memasuki ruang tunggu A8 di Bandara Internasional Hang Nadim, Batam. Sejam lagi sebelum penerbangan - berdasarkan jadwal berangkat yang tertera di atas tiket-  setelah taksi membawaku meluncur dari rumah di kawasan Baloi Indah.

Saya lupa membawa buku bacaan dan juga headset bawaan ponsel. Itu artinya, alamat membosankan di atas pesawat. Lantas mengutak-atik ponsel menjadi pekerjaan untuk membunuh waktu sebelum keberangkatan.

Di luar, tatapan menuju landasan pesawat, hujan gerimis belum juga berhenti. Langit tampak mendung. Waah bagaimana terbang kalau begini? "Tuhan, lancarkan perjalanan hari ini," ujarku dalam hati.

Benar saja, delayed tanpa pemberitahuan dari maskapai pun terjadi. Satu jam. Saya maklum, penumpang lain sepertinya. Lihat saja cuaca di luar sana.

Penerbangan yang harusnya 13.45, akhirnya berangkat pukul 14.50 WIB. Penumpang termasuk saya pun dipersilakan naik pesawat. Hujan masih gerimis tapi tidak sederas tadi. Cuaca? Awan kelabu masih menggantung di langit.
Khawatir? Mencoba menghilangkan perasaan senewen dengan pikiran "diizinkan masuk ke pesawat, berarti langit Batam dan Bandung layak terbang untuk dilalui".

Saya duduk di bangku 25 A, itu artinya saya persis di jendela, di belakang sayap. Tidak masalah, sudah biasa. Penerbangan domestik dan internasional yang kulalui, -sepertinya- nasib 'menjodohkanku' dengan sayap pesawat. Dua penumpang di sebelahku seorang mahasiswa tingkat satu jurusan Teknik di Universitas Pasundan, dan seorang bapak setengah baya, penduduk Tasikmalaya. Saya sempat berbincang dengan mereka.

Tiba-tiba, sekitar 40 menit setelah terbang, tiba-tiba pesawat mengalami turbulensi. Seolah-olah jatuh, berguncang hebat. Sontak duduk tegak, memperbaiki posisi dan memegang dua sandaran kursi. Demikian juga si adik mahasiswa. Saya langsung berdoa, memohon perlindungan. Turbulensi belum juga berhenti. Pesawat memasuki awan pekat. Guncangan demi guncangan terjadi. Penumpang yang tidur lantas terbangun. Lampu emergency terus menyala.

Doaku semakin panjang, mulai takut berlebihan, mulai membayangkan segala kemungkinan buruk yang terjadi, lantas mengingat tujuanku. "Izinkan aku melihat ayahku. Biarlah pencobaan ini lalu daripadaku. Selamatkan dan tangan-tangani kami seluruh penumpang dan awak kabin. Berikan cuaca cerah ya Tuhan. Biarlah hikmat dan kebijaksanaan melindungi pilot dan co-pilot. Suruh Roh Kudusmu melindungi kami," doaku berulang-ulang. Sementara mahasiswa disampingku sudah keringat dingin. Dia menggigil hebat lantas tertunduk sambil memejankan matanya, dan si bapak juga tak kalah tegang.

Selesai? Belum.

Dua puluh menit sebelum pendaratan, awak kabin sudah mulai melaporkan persiapan pendaratan. Bumi Pasundan pun sudah terlihat dari langit. Semakin mendekat, bahkan stadium Bandung sudah terlihat sangat dekat. Hujan deras dengan sesekali goncangan ringan terjadi. Aliran air menyentuh kaca pesawat. Tiba-tiba petir dan kilat bersahut-sahutan di kejauhan. Sontak, pesawat memutar arah, naik menembus hujan dan awan mendung. Pilot dari ruang kabin mengumumkan, terjadi pembatalan pendaratan di Bandung karena hujan deras tidak memungkinkan untuk mendarat karena landasan licin dan jarak pandang yang tidak memadai untuk pendaratan penerbangan. "Kita akan berputar-putar dulu sampai informasi memungkinkan untuk melakukan pendaratan di Bandara Husein Sastranegara Bandung" ucap sang pilot melalui pengeras suara.
Persiapan pendaratan di Bandung. Photo taken by Chahaya OS

Persiapan pendaratan yang disambut hujan deras dan kilat. Photo taken by Chahaya OS
 Penumpang tampak tegang. Selama 40 menit berputar, hanya awan gelap yang terlihat hingga perasaan pesawat sudah hampir melalui 32 ribu km di atas permukaan laut. Saya melihat awan mulai cerah dan terlihat langit biru, dan di kejauhan garis langit  dengan warna jingga tampak setitik menandakan sore akan segera berlalu. Saya melihat harapan, dan yakin itu jawaban doa, Tuhan mencerahkan langit sehingga kami bisa mendarat di Bandung.
Salah satu momen saat pesawat gagal mendarat di Bandung. Photo taken by Chahaya OS
 Pesawat mulai menurun, menukik turun berbelok ke arah kanan. Disaat itulah goncangan terjadi lagi. Awan-awan gelap kembali menjadi momok.

Sudah 2 jam 25 menit kami di angkasa. Belum ada tanda-tanda pendaratan. Sementara awan makin hitam pekat. Meski pun terus menerus berdoa dalam hati, tapi saya belum sukses mengalahkan rasa takut. Ketakutanku pun makin menjadi saat melihat penumpang di sampingku menggigil terus menerus. Dia pucat pasi karena takut berlebihan. Dia menggenggam sandaran kursi dengan kuat sampai ruas jarinya membiru. Pasrah. Saya pasrah. "Suka-sukaMulah Tuhan," ujarku berbisik.

Pengeras Suara pun kembali berbunyi dari ruang navigasi. "Karena alasan situasional dan darurat, maka penerbangan dialihkan ke bandara Internasional Soekarno Hatta. Maaf atas ketidaknyaman ini, demi keselamatan bersama". Saya tertunduk lantas menangis. Antara lega, bersyukur karena telah dibebaskan dari pengalaman 40 menit yang menegangkan di angkasa, dan tidak sabar ingin ketemu ayah dan mama segera di RS Advent Bandung.

Selang 30 menit kemudian atau sekitar pukul 17.55 Wib, kami mendarat di Bandara Soekarno Hatta di Cengkareng. Merasa lega, biarlah jalan darat ke Bandung yang penting selamat daripada harus terbang lagi dengan kondisi cuaca ekstrim. Masih trauma dengan kejadian barusan. Turbulensi paling parah yang saya alami dibanding penerbangan dari Singapura ke Phuket 2011 lalu dan penerbangan dari Jepang ke Malaysia, November 2015 lalu. Kejadian penerbangan Batam-Bandung kali ini membuat nyaliku ciut ditambah tujuan perjalanan kali ini cukup menguras suasana hati. -laughing outside, crying inside-

Ternyata eh ternyata, seluruh penumpang yang sudah bersiap turun tidak diperbolehkan keluar dari pesawat. Dua bus Lion Air yang bersiap menjemput pergi menjauhi pesawat.  Penumpang disuruh duduk kembali. Tanpa logistik, dua jam kami berada di pesawat, terparkir agak jauh dari landasan utama bandara Soekarno Hatta.

Pukul 20.05, setelah pesawat menyelesaikan pengisian bahan bakar avtur, oleh co-pilot, mengumumkan ATC bandara Bandung sudah menginformasikan layak terbang. Kami pun kembali terbang. Goncangan kecil tak kuhiraukan lagi, keyakinanku usai berdoa, saya berserah. 25 menit kemudian, dengan hempasan keras kami mendarat. Itu artinya saya dan penumpang lainnya termasuk awak kabin mendarat dengan selamat meski pendaratannya tak mulus. Namun tetap, saya bersyukur.
 Hai Bandung, terimakasih Lion, sekarang izinkan saya memeluk ayah yang terbaring lemah dengan selang oksigen, luka panjang di perut yang terbalut kasa. Meski hati hancur, jantung masih deg-degan, tapi saya bersyukur, saya telah memeluk ayah, mengecup keningnya. Meski sakit dan jarum infus di tangannya, ia melap air mataku. Trauma turbulensi penerbangan luntur seketika. Saya merasa Tuhan hadir dan tersenyum melihat pertemuanku dengan ayah. Cepat sembuh ayah. Tuhan beserta kita. ***

warm regards,
Catatantraveler-COS

(I thank God, thanks to all crew, pilot and co-pilot Lion Air JT 0950)
Sunday, February 07,2016: BTH-BDO

2 comments :

  1. Nggak ngebayangin klo dian di posisi kak Chaycya, mungkin udah pingsan2 di pesawat,, serem bgt
    Semoga ayahnya cepet sehat ya kak

    ReplyDelete
  2. Mba Dian Fernanda:

    Saya juga kalau ingat itu masih suka bergidik. :)
    Amin. Makasih mba Dian.

    Terimakasih sudah mampir di lapak saya.. Hehe

    ReplyDelete

Designed by catatan traveler | Distributed by catatan traveler