Ibuku Kartiniku

Dad n Mom


21 April, negaraku peringati sebagai hari Kartini. Peringatan karena Raden Ajeng Kartini inilah, perempuan Indonesia bisa menikmati kebebasan, emansipasi. Bayangkan, diusianya yang ke 24 zaman itu, ia sudah memikirkan nasib kaumnya ke depan.

Setiap hari ini pula, aku dan segenap wanita Indonesia bersyukur dan berterimakasih dengan hadirnya Kartini sebagai perintis kebebasan kaumnya.

Namun di zaman ini, lewat pahlawan Habis Gelap Terbitlah Terang itu, aku mengagumi sosok wanita super saat ini.

Mengandungku selama 9 bulan lebih, melahirkanku dan 6 saudaraku secara normal. Berhenti disitu saja? Tidak. Bukan karena tanggung jawab ia membesarkan kami, itu tak cukup. Ah, membesarkan aku saja dulu.

Kawan, kukatakan padamu, aku adalah anaknya yang paling badung. Namun, dengan sabar ia membesarkanku, memberi perhatian yang cukup, menafkahiku dengan berjualan kain pergi pagi pulang malam. Ia tak kenal lelah, uang baginya hanya datang pergi, tak perlu punya perhiasan asal anak-anaknya bisa bersekolah tinggi.

"Kalau dari dulu aku pelit, uang kukumpulkan untuk investasi, mungkin udah punya puluhan rumah, tanah dan seember perhiasan. Tapi itu buat apa? Harta tak dibawa mati," ujarnya.

Disaat temannya sesama pedagang pamer dengan emas yang menempel di tubuh mereka, perempuan berkacamata yang kupanggil mae itu justru menyimpan materi itu sebagai bekalku untuk menikmati strata akademis. Ia tak punya perhiasan.

Dengan sabar ia menasihatiku, memperingatkan aku, mana yang baik mana yang benar. Diwaktu apa boleh marah, disaat kapan bisa berbagi. Ia selalu mengajariku melihat ke bawah, melipat tangan dan berseru ke Atas.

Saat aku sakit, ia lebih-lebih dari dokter buatku. Saat berjauhan seperti ini, suaranya sangat menentramkanku.

"Baik2 ya inang, jangan lupa berdoa. Teratur makan, banyak minum air putih, jangan lupa makan sayur. Itu sangat menyehatkan," ujarnya.

Ada lagi, "jangan pake obat-obatan bermacam-macam ke mukamu, jelek nanti. Pakai bedak baby saja, rajin makan buah dan sayur, banyak minum air putih, itu udah lebih cukup buat rambut dan wajahmu cerah," jelasnya lagi.

"Baik mae," ujarku.

Tak usahlah kujelaskan ia berurai air mata menangisi berbagai sifat kami anak-anaknya..
Tak usahlah kujelaskan mimiknya saat marah besar lihat perilakuku yang kadang kurang ajar.
Tak usahlah kuterangkan pula seberapa keras ia mendidik kami.

Bagiku sekarang, itu cukup.
Bagiku sekarang, aku malah bersyukur dengan caranya mengajariku.
Mengasihiku dengan lemah lembut dan terkadang keras.

Ia perempuan berkacamata, manis dan santun.
Menurutnya ia berasal dari keluarga miskin, bukan bangsawan.
Ayahnya meninggal saat ia masih SD.
Ia pintar, tapi ia hanya tamat SMEP (setara SMP) di zaman dulu.
Ibunya (nenekku) menyuruhnya untuk melanjutkan sekolag jenjang SMA biar nanti lulus bisa menjadi guru. Namun, ia menolak dengan alasan, biarlah saudara2nya khususnya adiknya laki-laki yang bersekolah tinggi, karena merekalah yang akan menjunjung tinggi dan melanjutkan marga keturunan kelak. Sementara ia akan menikah dengan marga lain.

Ia pun bekerja. Dipercaya menjadi bendahara kilang tenun di Balige. Diusia remaja, ia sudah membantu ibunya yang sudah janda menyekolahkan adik-adiknya.

Dari muda ia sudah melihat bagaimana kerasnya hidup,
Dari kecil ia sudah melihat bagaimana menderitanya karena ketiadaan.
Sehingga ia berjanji kepada dirinya "anak2ku kelak tidak akan menghadapi kesusahan sepeti ini" dibenaknya kala itu.

Dialah ibuku..
Ia tak pernah pelit akan kebutuhan kami.
Kadang dia memberi waktu, supaya kami (ah aku sendiri) belajar bagaimana caranya bersabar dan menunggu.

Pergi bekerja pukul 05.00 wib, pulang pukul 08.00 bahkan lebih di waktu malam, wajahnya tak pernah menunjukkan lelah.
Ia selalu menyempatkan waktu berlutut, melipat tangan dan berdoa kepada Sang Pencipta, mengucap syukur dan mendoakan kami anak-anaknya.

Dialah ibuku..
Perempuan berkacamata, yang aku panggil mae, yang ponakanku dan anak-anakku kelak memanggilnya opung (nenek).
Ia lebih-lebih dari Kartini buatku.
Ia merupakan separuh jiwaku
Ia semangatku..
Ia ratu di hatiku
Ya, perempuan berwajah teduh itu aku panggil mae (ibu).

Diberkatilah kau Kartiniku..
Panjang umur dan bahagialah engkau di hari tuamu.
Tuhan memberkatimu mama, maeku.


Warm Regards,
COS

April21-2015
22.59pm

Post a Comment

Designed by catatan traveler | Distributed by catatan traveler