Catatan Perjalanan dari Vietnam

Luang

Dua bulan sebelum penghujung 2013, Tuhan memberiku kesempatan menikmati perjalanan ke Vietnam, salah satu negara di Asia Tenggara, yang mempunyai sejarah kelam penjajahan Prancis, Amerika dan pertentangan dua ideologi Demokrasi dan Sosialis Komunis.

Sedikit mengenai sejarah negara ini, dulu pernah terpecah menjadi dua bagian. Paham demokrasi liberal di Selatan atau Saigon (Ho Chi Min sekarang) dan paham Sosialis Komunis di Utara atau Hanoi yang berbatasan langsung dengan Republik Rakyat China. Perpecahan ini membuat sebagian besar rakyat Vietnam menderita, sengsara. Ratusan bom, teror tembakan senapan setiap hari, gerylia tentara nasional yang merekrut anak di bawah umur, serta lalu lalangnya tentara Amerika. Situasi ini pernah menjadi momok selama 1968-1975 dan oleh seluruh dunia mengenalnya dengan Perang Indo-china (Indocina War).

Menyukai sejarah, membuatku menapakkan kakiku di negara ini. Tanpa teman, hanya bermodalkan tiket, initerary seadanya dan doa perlindungan dari Tuhan yang kupuja, aku berangkat. Melalui bandara Changi di Singapura menuju Than Son Naht Airport di Ho Chi Minh.

Sambil menenteng backpack Kalahari 35 kg, dengan berat saat itu 12,5 kg, satu tas tenteng Levis dengan satu buku panduan Backpacking Vietnam-Kamboja di tangan, aku menuruni keluar dari pesawat Jet Star, mengikuti alur belalai gajah, menuju imigrasi. Pasporku di chop, lantas mengikuti instruksi exit dengan menuruni eskalator, seperti biasa dalam perjalanan, aku mencari-cari konter free map. Tak ada, aku pun menuju informasi dan mereka memberikan sebundel informasi dan satu peta wisata Vietnam.

Tak langsung keluar, dari bagian informasi, ke sebelah kanan pintu keluar, terlebih dahulu menukarkan uang dari pecahan USD ke VND. Hari pertama di bandara aku hanya menukarkan 100 dolar, dan aku langsung mendapatkan 2.140.000 Dong. Rekan seperjalanan, kukatakan padamu, ini kali pertama aku merasa kaya raya dalam menikmati perjalanan di negara lain.

Dari hari pertama, kemandirian dan keteguhan serta keyakinan menjadi modal utamaku. Beralasan hemat, dari bandara, menggunakan bus 152, aku menuju Pham Ngu Lao, kawasan atau surga backpacker di negara ini sama seperti Kaosan Road di Bangkok, Thailand. Tak perlu keluar duit mahal, hanya membayar 5.000 Dong atau IDR 2.500, dengan 30 menit perjalanan. Sangat murah menurutku.

Tuhan menuntunku. Keramahan mengikuti dari awal. Di bus, setelah membayar ongkos lewat mesin manual di pintu masuk, aku menurunkan backpacku. Di depanku, seorang turis dari China tersenyum ramah dan aku membalasnya dengan senyum ramah juga. "where you come from?". Lantas aku menghentikan jariku membolak-balik buku panduan perjalanan dan menjawabnya.

Aku: ah, Indonesia. How about you?
The tourist: from China, i want to go to District One, Pham Ngu Lao.
Aku: same, me too.
The Tourist: where do you stay in Pham Ngu Lao?
Aku: idk, i just want to go there, and search the hostel by go show.

Si turis itu pun tertawa, lalu bilang "haha, kamu terlalu berani untuk go show". So what? (Inilah yang kusesali, tak kutanya pula siapa namanya. Tumbenan gitu aku ga tanya namanya.. Arrgh, pasti ini konspirasi lelah dari naik motor ke pelabuhan, trus naik kapal ke singapura, trus naik pesawat, trus naik bus ini. Pokoknya seharian itu baik di darat, di lait dan udara hingga kembali ke darat, aku tetap Jaya!!! Eh rontok stamina).

Lalu aku kembali membolak-balik halaman penginapan yang sudah kutandai sebelumnya. Hingga seorang perempuan berambut panjang diekor kuda duduk di depanku.

Aku: excuse me, (lalu menyodorkan alamat dari buku) do you know where is the backpacking hostel at this book?
Luang: (membaca mengikuti jariku). Bingung ( hiks, ga ngerti bahasa Indonesia seh dia, or ga ngerti bahasa Inggris juga)
Aku: The book said, its near from Pham Ngu Lao street.
Luang: aaaaa.. Paaaam Nguk Laaaaaooo (diakritik pake suara hidung yang diperpanjang).
Aku: yes.. Pham Ngu Lao.. Sorry, how to said it? Paaamm Nguk Laaaao? (Tersenyum)
Luang: (tertawa) yaa.. Yes.. Paaamm Nguk Laooo.. ( dengan bahasa isyarat dan inggris yang kurang lancar) i go to Pham Ngu Lao too.. You can be with me together. I live in there also
Aku: oke.. Thankyou somuch. Kam en Luang.. Ah, toi ten la Chahaya, Cha Ha Ya.
Luang: (senyum ramah lagi) kam eeennn. Aaa sua haya? My name is Luang, 24 yo.

Lalu luang mengotak-atik handponenya, lalu menunjukkan padaku. Ah ternyata dia mengetik sejenis pertanyaan di semacam google translator di handponenya. Ya mana aku tahu itu pertanyaan apa artinya, bahasa Vietnam semua dengan apostrof diakritik di kepala huruf.
"I don't understand Luang, what do you mean?".

Luang kembali tersenyum, lalu mengetik lagi, menunggu beberapa saat. Sambil membaca dari handponenya, dia bertanya tujuanku ke Vietnam.
"Oh, traveling. Just it. I got 7days free duty from my work, so i choose Saigon to visit".

Ngerti ga ngerti, Luang hanya tersenyum dan bilang "thankyou".

Bus kami pun sudah memasuki perkotaan. Terlintas di pikiranku, TSN airport tidak jauh beda dengan posisi bandara Polonia di Medan. Berada persis di tengah kota. Dari bus, aku menikmati Ho Chi Min yang crowded, melihat langsung ribuan pengendara motor berjejal di setiap lampu merah, saling klakson dan saling silang kendara. Buseet, ga takut tabrakan lalu mati apa? "This is Biet naaaammm (Vietnam)" ujar Luang. Aku pun tersenyum.

Diam sejenak menikmati beberapa gedung klasik berbaur dengan gedung mewah, menertawakan helm pengguna sepeda motor yang di Indonesia dipakai sebagai helm sepeda,  tiba-tiba Luang melihat ke belakang dan menunjukkan kepadaku pasar Ben Than atau Ben Than Market. Kami melewati bundarannya, mataku langsung tertuju pada puncak Bitexco Tower yang diatasnya ada iklan Exim Bank (seketika aku teringat alm tante Ati, adek bontotnya papa yang dulu pernah kerja di bank tersebut). "Sebentar lagi kita sampai. Ini sudah masuk kawasan Pham Ngu Lao," kata Luang.

Tak sampai 2 menit dia berkata demikian, di halte dekat simpang empat antara Pham Ngu Lao, De Tham, dan Bui Vien, Luang mengajakku turun. "Kita sampai," ujarnya. Mengucap terimakasih kepada sang sopir, aku, turis China, Luang dan 3 orang lainnya turun.

Luang, dengan bahasa isyarat menarik tanganku, meminta buku panduanku, membacanya dan "Follow me".
Thankyou Luang, gpp, aku bisa cari sendiri kok. Sambil berjalan terus, mataku berpencar mengikutinya, dia melihat alamat sesuai yang dibuku. Ketemu nomor 299, "bukan ini" lantas dia bertanya ke tukang becak disana.

Sambil memegang jidatnya dan tertawa miris, dia menunjukkan alamat penginapan itu. "Not Pham Ngu Lao, but De Tham, near from here".
"As i told you before Luang," ujarku tertawa. Saat mengantarkan aku ke De Tham, dia berhenti sejenak, menunjuk gang kecil di Pham Ngu Lao, "aku tinggal disini bersama keluargaku. Di 295" ungkapnya. Dalam hati aku berpesan, aku harus mengunjunginya sebelum aku pulang kembali ke Indonesia.

Kami sampai di De Tham. Masuk gang sekitar 20 meter dari jalan besar, akhirnya aku bertemu backpacking club hostel. Berkenalan dengan pemiliknya yang ramah bernama Tom. Saat aku check in, tiba-tiba Luang sudah ga di depan hostel lagi, aku berlari ke luar, dan memanggilnya. "Luang, where do you go? Don't go please, aku belum mengucapkan terimakasih kepadamu".

Dia hanya tersenyum, menunduk sambil mendekap tangan di dadanya. "thankyou somuch Luang, ah i'm Chahaya the Indonesian you helped, may i visit your home?," lalu dia menunduk lagi, senyum lagi dan bye bye.

Aku kembali melanjutkan check in, memilih private room 12 dolar semalam dan naik ke lantai 3.
----

Bersambung..

Sedapnya Pho Bo di Bui Vien.

Post a Comment

Designed by catatan traveler | Distributed by catatan traveler