Die

"Chay, kabar duka cita. Papa Marisan meninggal chay". Syock, langsung cek recent update Blackberry Messenger. Tertulislah disana "Haccitni Paninggalhon mon Bapa, Haccitnai (papa, engkau pergi, sangat menyedihkan bagi kami)"

Aku langsung terbangun, terhentak lalu menangis. Membayangkan wajah ceria sahabatku itu langsung bermuram durja menerima kenyataan ini. Kukirimkan pesan buatnya, supaya dia tegar, tabah dan kuat menghadapi ujian berat ini.

Bayangkan, seorang papa yang begitu menyayanginya, begitu mengharapkan dia untuk segera menikah dan ingin menimang cucu darinya, tiba-tiba pergi meninggalkan dunia hanya karena penyakit diabetes jahanam itu. Si sulung itu pasti merasa bersalah karena belum bisa memenuhi permintaan papanya untuk segera menikah. Ah sudahlah, tegarkan dirimu sobat, segala sesuatu sudah diatur dan ada masanya. Jangan merasa bersalah, hadapilah kenyataan kehidupan ini dengan iman teguh karena tidak ada seorang pun yang dapat menyangkal datangnya kematian, seorang pun tidak.

Dia datang seperti pencuri di malam hari, dan kita tidak tahu kapan hari itu datang kepada kita.

Kuberanikan diri menghibur sahabatku itu, entah dorongan apa dari dalam diriku mengirimkan begitu banyak pesan ungkapan yang seharusnya (tidak) cocok diberikan kepada orang berduka saat ini. Haruskah aku bilang "Aku sangat sedih dan turut menangis atas peristiwa dukamu" (meski kenyataannya iya aku menangis, sesenggukan, sesak di dada dan langsung membayangkan wajah Isan lalu wajah kedua orang tuaku dan berdoa bagi mereka). Tapi nyatanya, aku langsung mengirimkan pesan " Marisaannnn yang tegar yak, tunjukkan kamu anak sulung yang jadi panutan buat adek-adekmu dan jadi sandaran buat mamamu. Tetaplah kuat, jangan terlena akan kesedihan, nanti kamu sakit. Yakinlah dibalik hujan ada pelangi dan yakinlah papamu sudah tenang di Surga bersama Bapa. Penyakitnya telah sembuh". Jujur, aku tidak tahu kekuatan darimana aku berani mengetik pesan ini dan mengirimkannya kepada sahabatku, tapi sekarang aku mengerti Roh Kudus yang menuntun.

Semoga sahabatku selalu tegar, keluarga diberi penghiburan dan kekuatan.

"Apakah aku sudah berani menghadapi kematian? Aku berani untuk diriku sendiri, tapi jangan dulu untuk keluarga dan orang-orang terdekatku" aku bertanya dan aku menjawab. Pikiran ala manusia.

Aku percaya rancanganNya damai sejahtera buatku, jalanNya bukan jalanku, sehingga aku tak ragu untuk selalu berpengharapan padaNya. Menatap matahari, melihat bulan dan bintang di masa depan bersama papa, mama dan keluarga dan orang-orang terdekatku.

Aku percaya, berbagai penyakit oleh bilur-bilurNya pasti sembuh, masalah finansial dan keluarga oleh tangannya pasti bisa melewatinya dengan hasil akhir sukacita. ASAL kita berpengharapan padaNya dan jangan khawatir akan hari esok, sebab hari esok mempunyai kesusahannya sendiri.

Chaycya, GL room
Fri, 06012012
12.21 am

Post a Comment

Designed by catatan traveler | Distributed by catatan traveler