Dari Festival Pulau Penyengat 2016 Menyapa Dunia


Bersiap menikmati berbagai acara Festival Pulau Penyengat 2016
"AGAK lama dong jatuhnya..., sering-sering pukul bantalnya biar seru," teriakku kepada dua kontestan lomba pukul bantal yang tengah berlangsung di tepi laut Balai Adat Indera Sakti, Pulau Penyengat, Minggu (21/2) lalu.
 
Aku terjatuh dan tak bisa tanding lagi. Lomba pukul bantal tanpa medali.. hehe
Pelantar beton Balai Adat mendadak ramai. Ratusan pengunjung tumpah ruah di sisi kiri dan kanannya. Kala di sisi kiri berlangsung lomba Jong, sedangkan di sisi kanan berlangsung lomba Pukul bantal yang sengit antara Pak Itam dan Amirul.

Adu jago, bantal siapa lebih kuat.. eh

Lets fight with this cute pink pillow.
Tak hanya mereka, kontestan lainnya dari kalangan remaja tanggung juga turut merebut juara di sebelahnya. Mereka adalah Ramli dan Adit. Mereka beradu kuat dalam memukulkan guling bersarung pink itu ke arah lawan. Siapa yang tak tahan keseimbangan, maka akan jatuh dari dudukan kayu bulat, meluncur sukses ke laut.

Dari dua pasang kompetitor, Pak Itam dan Ramli menjadi suksesor yang maju ke babak semi final. Tepukan sorak sorai dari para pengunjung menambah riuh suasana pesta rakyat tersebut. Seru sekali.

Sementara itu, tak banyak polesan menyambut festival bernilai Rp 2,2 miliar ini. Hanya umbul-umbul dan baliho saja yang terlihat, baik di pelabuhan pelantar kedatangan Pulau Penyengat dan sejumlah titik kawasan diadakannya perlombaan.

Masyarakatnya pun tampil apa adanya, seperti yang terlihat di halaman rumah warga, sekitar 200 meter dari Jalan Raja Jakfar atau rumah yang persis berada di sebelah makam raja-raja.
Khalid dan Zhikri bermain gasing
Disana, dua anak berpakaian stelan jersey kesayangan mereka tampak asyik bermain adu lontar bulatan dari kayu. Adalah Khalid yang mengenakan jersey biru ala club kesayangannya, Chelsea, sedangkan temannya, Zhikri mengenakan jersey coklat bersablonkan AC Milan, sebuah klub raksasa sepakbola dari Italia. Mereka tengah berjibaku melontarkan kayu bulat yang runcing diujungnya tersebut menggunakan tali.

Melihat cara mereka, permainan ini memiliki aturan, saat lawan melontarkan kayu bulat tersebut ke tanah menggunakan media tali, yang satunya kembali melontarkan kayu bulat miliknya. Apabila mengena dan terus berputar, itulah yang menjadi pemenangnya.

Zhikri melontarkan gasing
"Ini namanya permainan gasing. Salah satu permainan khas Melayu juga," ujar Zhikri, pria kecil yang baru duduk di kelas 6 SD ini sambil meraih gasingnya yang jauh terlempar dari gasing milik Khalid.

Itulah secuil suasana permainan tradisional dari perhelatan Festival Pulau Penyengat (FPP) 2016 yang berlangsung selama lima hari berturut-turut, mulai Sabtu (20/2) hingga Rabu (24/2) kemarin.
 
Masjid Raya Sultan Riau yang berada persis di depan gapura Pelabuhan, pintu masuk pulau Penyengat
Selain menyaksikan permainan tradisional, perjalanan mengunjungi pulau ini dimulai saat hari pembukaan, Sabtu (20/2) lalu. Hujan sepanjang hari tak menyurutkan langkah para penikmat perjalanan mengunjungi pulau bersejarah yang juga dikenal sebagai Pulau Mas Kawin tersebut. Ini terlihat dari mulai pelabuhan pelantar menuju Penyengat selalu dipadati pengunjung yang selalu antri menaiki pompong, kapal kayu bertenaga mesin dengan muatan penumpang yang terbatas.
Becak motor hias.
Dalam festival tersebut, berbagai perlombaan seperti lomba gurindam, lomba bentor hias, dan yang lainnya dimulai pukul 08.00 WIB pada pagi hari dan umumnya berakhir pukul 14.00 WIB. Mengisi jeda waktu hingga sore menjelang sebelum pulang menuju tempat menginap di Tanjungpinang, saya pun memanfaatkannya dengan mengunjungi beberapa situs warisan peninggalan Zuriat Melayu Kerajaan Lingga yang berpusat di pulau itu.
 
Komplek makam keluarga Raja Ja'afar dan Raja Ali Marhum Kantor
Berjalan kaki,langkah pertama terhenti di pemakaman Raja Ja'afar dan Raja Ali Marhum Kantor beserta keturunannya. Makam tersebut persis berada di tengah-tengah pulau Penyengat. Disini, bersama rekan sesama pejalan, kami mempertanyakan apa makna dari kain satin kuning dan putih yang membungkus batu nisan makam. "Kalau katanya sih, yang kain kuning, mereka keturunan langsung raja-raja," ujar rekan sesama pejalan yang juga menjadi finalis lomba fotografi dalam acara tersebut, Lina W Sasmita.
 
Mata air tawar di bawah bangunan Balai Adat Inderasakti.
Berjalan lebih jauh lagi menyisir kawasan pinggir pantai, tibalah di Balai Adat Inderasakti. di bawah balai adat tersebut, ada mata air tawar yang tak pernah kering. Konon katanya, siapa yang minum atau mencuci muka dengan air tersebut, akan segera ketemu jodohnya. Percaya tak percaya, tetap saja cuci muka sambil bercanda ke teman. "Ini, saya udah cuci muka dan melapnya. Kalau jodohnya belum datang juga, berarti itu karena saya terlalu cepat melapnya," hahaha...
 
Istana kantor
Selanjutnya, perjalanan hari itu berlanjut ke Istana Kantor, bangunan peninggalan Belanda dan berakhir di Masjid Raya Sultan Riau yang menjadi landmark Pulau Penyengat.

Festival ini sukses menghibur antusias warga lokal, dan juga para traveler yang datang berkunjung. Menikmati permainan tradisional khas Melayu, serta melihat langsung situs warisan peninggalan Sultan Melayu yang masih terjaga bentuk aslinya menjadi nilai tambah dari festival ini untuk menyapa dunia, memperkenalkannya menjadi warisan, yang bukan tidak mungkin menjadi situs World Heritage dari UNESCO. Semoga saja. ***

How To Get There:

Tourist map.
MENUJU Pulau Penyengat, aksesnya hanya bisa dilakukan dari ibu kota Provinsi Kepri, Tanjungpinang.

Dari Batam menuju Pelabuhan Sri Bintan Pura di Tanjungpinang, menggunakan kapal fery Baruna (sejenisnya) dengan tarif Rp 59 ribu + tiket masuk pelabuhan seharga Rp5 ribu.

Dari pintu exit terminal kedatangan di pelabuhan, jalan terus sekira 50 meter menuju gapura di jalan raya, belok kanan sekitar 200 meter hingga tiba simpang empat, lantas belok kiri menuju Pelabuhan pompong. Dari sini, pengunjung cukup membayar ongkos pompong Rp 7 ribu untuk berlayar tak kurang dari 10 menit menuju Pulau Penyengat.

Sesampai di pulau ini, pengunjung bisa menyewa becak motor dengan estimasi biaya mulai Rp 20 ribu hingga Rp 100 ribu untuk berkeliling menikmati situs bersejarah warisan budaya Melayu tersebut.

Lantas bagaimana perjalanan pulang? Demikian sebaliknya. :) ***

11 comments :

  1. Duh kakak..... Kita maren napa tak ikutan lomba pukul2 bantal itu yak ahahaha

    ReplyDelete
    Replies
    1. Dear Asad

      Aku ogah ah.. jadi penonton aja lebih seru. Tapi kalau ada lomba pukul mantan, kabarin yak? aku ikut. hahaha

      Delete
  2. bolak balik komen koneksi putus nyambung, ntah dimana komen yg kuketik tadi :(, udah, mau bilang itu aja :-/

    ReplyDelete
    Replies
    1. Dear kak Rina:

      Kesalahan bukan disini, tapi disana.. haha

      Delete
  3. Saya nggak sempat nonton lomba pukul mantan, eh salah bantal dinkz...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Dear Chairuddin

      Kamu terlalu asyik ama mas Bams sik.. :p

      Delete
  4. Yahhh ngk sempat ke mata air tawarnya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Dear mba Eka,

      Waaah.. kenapa? dimana mba Eka saat itu?

      Delete
  5. Sayang dikau pulang duluan. Ada lomba gasing beneran di Kampung Datuk. Yang main jauh-jauh dari Lingga dan Karimun dan gasingnya unik-unik banget. Jadi pengen rasanya nyoba main gasing.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Dear teh Lina

      Iyaaaa... sayang yak Chaya ga liat, demi kejar ga telat masuk kantor teh Lin.. Gapapa deh, lomba gasing seperti itu juga sudah pernah Chaya lihat di desa Sebang Mawang, Natuna.

      Delete

Designed by catatan traveler | Distributed by catatan traveler