Menyelami Masa Lalu Saat Menikmati Masa Kini di Vietnam


With Vietnamese Women at Red Sands Dunes, Phan Tiet, Vietnam
OKTOBER 2013 menjadi waktu yang tepat buatku menikmati satu negara, bagian alam maha luas di Asia Tenggara. Ya, satu dari kawasan Indochina, yakni Vietnam menjadi tujuanku. Tak ada teman, hanya modal keberanian, tiket pulang-pergi (PP) dengan tekad: Asal tiket sudah di tangan, jangan takut. Biarkan alam menuntunmu ke mana pun kaki melangkah. As always like that :))

Sebelumnya, pertama kali mengungkapkan akan berangkat jalan ke Vietnam, lebih banyak kontra yang saya dapat daripada dukungan. Dari teman dan saudara " gila?!! Ngapain ke vietnam? Negara trauma luka perang lo itu Chay, mereka masih berbenah, rentan kerusuhan. Jangan kesana ah. Pliss" mereka mohon-mohon.

Makin nolak saat bilang saya pergi sendiri, solo backpacker, dan nekat ke Vietnam karena menjadikan negara itu sebagai salah satu tujuan perjalanan hidup.
"Apa? Sendiri? Sakit lo chay.. Negara rusuh, jalan sendiri. Kecuali berdua, atau bertiga. Ini lo sendiri, cewe lagi. Jangan deh jangan".

So what?? Rusuh? Cewe? Perang? Terimakasih atas perhatian kalian. Tapi saya tetap pada pendirian, dan tiket sudah di tangan. Oh ya, mengenai saya seorang cewe, jangan lihat gender, saya berani ke kawasan baru meski hanya sendiri berteman lilin malam hari, demi menjawab ribuan penasaran dalam jutaan pertanyaan di benakku. Jadi tak masalah, sepanjang Tuhan meringankan langkahku untuk mengeksplorasi kawasan tersebut.

Dua hari sebelum berangkat, teleponan ama bokap dan nyokap. Memberitahukan Sabtu, 26 Oktober 2013 ke Vietnam. "Ke Vietnam? Tugas atau jalan?". "Jalan ma" jawabku. " eh itu Vietnam dimana? Yang dekat Kamboja bukan? Itu Viet Cong- Viet Cong itukan (tentara viet zaman komunis). Eh jangan kesitu, bahaya. Kejam mereka itu, lebih-lebih dari PKI, Komunis itu. Ga tau kau, tentara Amerika aja mundur. Jangan kesitu," itulah pembicaraan sama nyokap.

Hahaha.. Sontak saya ketawa, dan sampai sekarang pun kalau ingat pesan nyokap ini, masih suka senyum-senyum sendiri. Eh tapi tunggu dulu, ternyata mamaku pinter Sejarah juga yak?!. Noh tuch buktinya, masih tahu sejarah perang tetangga sebelah (Indocina war), masih tau PKI. _ Kenapa ga jadi guru sejarah aja sih ma?_ 

Aku pun meyakinkan orangtuaku. "Jangan khawatir ma, itukan dulu, tahun 60-70an, sekarang udah 2013, mereka sudah berbenah lagi, malah touristy banget. Jangan takut kalau ama borumu Chahaya ini". :)

Akhirnya mereka pun luluh (lagian luluh tak luluh tetap berangkat kok. Tiket udah dibeli, masa gagal dua kali dan tiket hangus dua kali?). Dulu September 2012, tiket hangus ke negara Uncle Ho ini karena mama masuk rumah sakit. Ya jelas memilih nyokap dari jalan-jalan dong. Jalan-jalan bisa lain waktu, tapi kalau waktu sama nyokap, apalagi kondisi saat itu, wew its so higly priceless, daripada menyesal di kemudian hari. I thank God, mama sehat dan saya pun bisa jalan meski di tahun depannya (sekarang ini).

"Ya udahlah klo mau kesana, hati-hati. Tetap berdoa, andalkan Tuhan. Baik-baik di sana. Jangan jadi sombong karena bisa jalan-jalan. Tetap rendah hati, dan jangan lupa, beli dulu tas belanja mama, udah soak yang ini," hmmmmmmm brrr, ujung-ujungnya O2 (Oleh-oleh). Hahaha.. But its oke mom.. Rebesssss. Untung saja si bapa tak minta oleh-oleh juga.. Hahaa, cuma bilang "berdoa boru, dimana pun berada" ah ai lav yu dad.

Eng ing eng.. Sabtu pun tiba. Aku berangkat, via bandara internasional Changi, Singapura, menuju Than Sonh Nhat di Ho Chi Minh (Saigon). Oktober, musim liburan belum peak season. Jadi menurutku, cari penginapan mending go show. Beruntung bagiku, aku mendapatkan penginapan murah di Backpacking Club Hostel di kawasan De Tham (thanks for your help Luang).

Hari pertama, saya memilih private room di lantai tiga, double bed, satu kamar mandi, dan tv dengan harga USD 12. Harga tersebut sudah include sarapan pagi yang terdiri dari baguette (roti Perancis), pisang, omelette dan juga kopi dan teh. Kawan, kukatakan padamu, jalan sendiri, tak enak nginap sendiri. Ruang besar lembab, seolah ada yang memperhatikan, dan mmmmm kok mendadak horor gitu perasaan. Besok paginya, saya langsung menemui Thom, pemilik hostel dan mengatakan "Thom, i want to change my room. I feel not comfort while i sleep, its so horrible. So, if possible for me, please change it in to mix dorm with all female". Dia mengecek kamar, lalu memindahkan barangku ke kamar 103 di lantai satu. THANK GOD, di kamar ini, aku bertemu rekan pejalan dari berbagai negara, Selandia Baru, Swedia, Jerman dan Rusia. Kenalan, langsung akrab. (Ya iyalah, secara satu ruangan, satu kamar mandi)

Hari kedua, pengembaraan pun dimulai. Saya mengunjungi terowongan Chu Chi di desa Chu Chi, sekitar 2 jam dari pusat kota Ho Chi Minh. Ke kawasan ini, dengan pertimbangan lebih mahal jalan sendiri, saya pun mengambil paket perjalanan setengah hari dengan membayar USD4.

Desa Chu Chi, merupakan salah satu tempat bersejarah di Vietnam.  Desa ini pernah luluh lantak saat kolonialisme Perancis dan juga perang ideologi utara-selatan antara Amerika dan Viet Cong atau yang lebih dikenal dengan perang Indochina (Indo-China War) mulai 1968-1975. Lantas apa yang membuatnya spesial di masa kini? ADA, yakni disini, kita masih menemukan terowongan, kota di bawah tanah. Untuk pertahanan diri, warga Vietnam dibantu Viet Cong membangun terowongan dan ranjau dengan berbagai bahan konvensional. Di dalam terowongan, ada rumah sakit, tempat pengungsian warga yang bisa tembus ke Sungai Mekong dekat perbatasan Khmer di Kamboja. Kalau saya sih tak mengikuti semua terowongan itu, cuma mendapat penjelasan dari mentor dan video zaman dulu, lalu menikmati berjalan merangkak di terowongan pendek sejauh 100 meter.

At Chu Chi Tunnel
Pengalaman pertamaku menikmati merangkak sambil menunduk di terowongan itu, gila!!! what the hell, jalan 100 meter saja, dengan tiga kelokan hingga naik kembali ke atas tanah sudah membuatku keringat dingin. Penyinaran sangat sedikit dengan lampu minus. Bayangkan dulu bagaimana warga, pengungsi Vietnam bersembunyi, membantu wanita hamil di dalam terowongan tanpa ada penyinaran? ck ck ck.. Perang, apa pun bentuknya selalu menyisakan luka.

Di desa ini, Jo, tour guide lokal kami mengajak melihat-lihat kawasan ranjau yang sampai sekarang masih ada. Bayangkan berapa ribu tentara Amerika dan juga warga menjadi korban dari ranjau ini. "As an Vietnamese, we forgive America, but its hard to forget," as Jo said to me.

Melihat langsung lokasi perang, rasa penasaran pun bergelayut di pikiranku. Kalau masa kini, suasana desa ini sudah touristy dengan menjual lokasi perang sebagai bagian dari pendapatan devisa. Sepulang dari sana, sehabis menikmati makanan khas tentara Viet, yakni ubi rebus dan teh pandan, sendiri, saya pun melanjutkan perjalanan ke museum perang (War Remnant Museum) di distrik satu di Ho Chi Minh untuk melengkapi perjalanan mengulik sejarahku dari Cu Chi.

Disini, kesan horor langsung menyeruak. Emosi teraduk. Di halaman museum, tidak kurang dari 10 pesawat jet tempur Amerika yang meluluh lantakkan Saigon (Ho Chi Minh kini) terpajang rapi. Di dinding museum, tertulis PEACE, SOLIDARITY, FRIENDSHIP, COOPERATION and DEVELOPMENT lewat poster merah, bergambar bintang, Bendera Vietnam. Di bawahnya, ada berbagai jenis bom, yang dulu pernah digunakan merusak desa Ca Mau,  desa mangrove dengan bom kimia, yang terkenal dengan sebutan US Napalm.

Lewat foto-foto sebesar poster yang dipajang di dinding museum, betapa menderitanya korban perang zaman dulu. Saya merasakan dan melihat luka dan penderitaan perang di berbagai desa di negara ini. Desa Ca Mau paling parah. Sebagian besar warganya cacat, mulai dari cacat tubuh hingga cacat mental. Bayangkan bagaiamana zat kimia bisa merusak sel dan gen dalam tubuh warga di sana. Trenyuh? saya pun menangis.

War Remnant Museum
 Melihat gambar, baik warga Vietnam maupun tentara Amerika yang diabadikan lewat kamera jurnalis perang kala itu, Nick Ut, Larry Burrows, Robert Capa, dan yang lainnya. Terimakasih kepada mereka, yang menjadi saksi sejarah lewat jepretan gambar, sehingga saya, penikmat sejarah ini bisa menyelami masa lalu perang di saat menikmati masa kini saat melakukan perjalanan di negaranya Paman Ho ini.

Sepulang ke hostel, Lucy, teman sekamar dari Jerman pun menyapa. "How's your day Chahaya?". "Ah, my bad. When i visited war remnant museum to completely my journey in Cu Chi. Owh, Its so horrible and sadness," jawabku. Dia pun merespon hal yang sama. Oh ya, dia sudah duluan ke Cu Chi, sehari sebelum saya. "Ah ya, sama. Aku juga, emosiku teraduk di sana. Oh ya, biar kamu tahu Chahaya, ini pertama kalinya saya menangis di museum, melihat langsung perjalanan perang di negara ini. Damn!!!," ungkapnya. Dan kami pun tertawa bersama, saling antri membasuh diri dan turun kembali ke lobi, menyatu dengan seluruh tamu hotel, berbincang dan bercanda diantara puluhan tas backpack dan meja penerima hostel yang selalu kami gunakan untuk serapan bersama tiap pagi harinya.

Meninggalkan Lucy, malamnya, saya pun mencari makan malam di kawasan Bui Vien Street. Masih teringat dari museum, ternyata di kawasan yang dulunya sebagai salah satu kampung di Saigon ini pun pernah terjadi pembantaian satu keluarga. Satu rumah tempat menyimpan beras dibakar, anak-anak Bui Van Vat yang disembunyikan di sumur dibantai, bahkan Bui Van Vat pun dibunuh saat operasi Massacre pada 25 Februari 1969. Flashback sekilas, tak terbayangkan betapa horornya zaman dulu melihat kawasan luluh lantak lewat foto yang diabadikan para jurnalis perang yang kini terpampang di museum itu _hiks_. Tapi malam itu, saya melihat kawasan Bui Vien sebagai kawasan yang hidup, penuh sesak para turis dan pedagang jalanan. Di kawasan ini, saya menyukai semua jenis makanannya, mulai dari Pho Bo, Baguette, aneka buah segar, aneka olahan sea food kering yang dijual dengan gerobak di atas sepeda dengan harga yang masih terjangkau kantong.

Usai menyelami masa lalu perang, hari berikutnya lagi, saya menikmati masa kini. Pergi menuju kawasan Mui Ne, di provinsi Phan Tiet, sekitar enam jam dari pusat kota Ho Chi Minh dengan menggunakan Sleeper bus. Berangkat pukul 21.00 malam (tidak ada perbedaan waktu Indonesia Barat dengan Vietnam), tiba pukul 2.30 GMT 07+ keesokan harinya di Phan Tiet, langsung ke penginapan 1 and 10 Hotel and Resort. Disini, saya melepas lelah, sebelum melanjutkan petualangan lagi.

Dengan menyewa motor seharga USD8, saya pun memulai perjalanan ke kawasan gurun pasir merah atau Red Sands Dune. Disini, saya melihat kebesaran yang Mahakuasa. Bagaimana bisa, di negara tropis, ada gurun pasir merah, bersanding dengan bukit hijau di atasnya, sedangkan di bawahnya hamparan pantai dan laut menghadang. Oh GOD, how great thou art. Saya menikmati pasirnya, menjejalkan kakiku ke buaian lembut bulirnya,  sambil dalam hati mengucap, oh God..keren banget ini.

Rasa syukur tiada henti bukan disitu saja, saya pun melanjutkan perjalanan ke Fairy Stream Waterfall. Dengan berjalan kaki, turun ke sungai, mendaki gunung merah, menemukan air terjun keren, lalu saling sapa dengan turis Rusia.

Ini masih secuil dari kisahku di Vietnam. Begitu banyak kenangan tak terlupakan, termasuk mengunjungi candi Poshanu, peninggalan suku Champa, yang kini tersisihkan ke pinggiran Kamboja. Di Vietnam, saya bisa menyelami  luka perang di masa lalu saat menikmati masa kini dalam waktu yang bersamaan.

Dinner with my hostel mate, Amy Nixon from England in Bui Vien Street
-------------

Warm Regards,
Friday, Nov 29-2013


2 comments :

  1. Replies
    1. pak Mohammad Maes Fauzi:

      hehe.. apa yang harus ditakutkan kalau kita sudah berdoa dan berserah saat menginjak kawasan baru? :))

      Delete

Designed by catatan traveler | Distributed by catatan traveler