Ketika Anak Punk Menuntut Haknya


Salah Satu Dari Anak Punk Itu Berkata: Kami Bukan Sampah Masyarakat


Delapan laki-laki yang turun dari mobil itu mengenakan baju ketat, jaket lusuh dengan berbagai stiker tempel, sepatu boot, rambut gaya mohawk, gelang tangan spike (berduri), tindik telinga dengan lubang besar, anting di lidah dan tubuh penuh tato. Tampak lusuh dan bau.
Mereka adalah anak punk, Rudi (19), Anta (18), Wanda (18), Pilo (22), Bobby (16), Sabar (19), Paul (21), dan Daki (20) terlihat pasrah ketika petugas menyuruh mereka duduk berbaris di depan gerbang tempat penampungan, sambil menunggu petugas menjemput kunci dari kantor Dinas Sosial.

”Anak punk gak selalu reseh, jangan langsung mencap sebelum kenal dekat, memang kami cuek tak pedulian tapi kami sadar juga apa yang terjadi di sekitar kami,” ujar Pilo sambil memperbaiki celananya yang hampir melorot kepada saya.

Para anak punk tersebut tertangkap razia Satpol PP di kawasan Simpang Kara dan Simpang Kabil Batam. Mereka mengaku kompak tidak melakukan perlawanan ketika petugas menggelandangnya rumah penampungan sosial di Sekupang. Diperjalan ke Sekupang, mereka mengaku mendapat perbuatan yang tidak menyenangkan dari petugas saat dibawa ke Batam Kota. ”Rambut kami dipotong semua, itu pun tak rapi mungkin mereka iri lihat gaya rambut kami yang mantap,” ujar Rudi sambil memegang rambutnya jagung gosongnya.

Melihat ketidakadilan yang diterima mereka, Anta menanyakan perihal tersebut kepada petugas. Mengapa mereka diperlakukan tidak sopan yakni ditampar dan dipotong rambut semaunya. Namun petugas hanya menjawab supaya pertanyaan tersebut disimpan dulu dan ditanyakan nanti saja kepada petugas pemberi penyuluhan dan bimbingan.

Imej anak punk saat ini, bagi sebagian besar masyarakat Batam bahkan Indonesia dianggap kotor, perusuh, bergerombol di jalan, dekat dengan kekerasan, meski tidak dapat ditampik mereka adalah kelompok yang berasal dari anti kemapanan. ”Salah banget kalau orang-orang melihat kita sebagai sampah masyarakat, mereka yang pikir gituan sebenarnya tidak tahu apa-apa mengenai kita. Penampilan yang kotor dan serba unik menjadi ciri khas anak punk, memang kelihatan aneh tapi kita tidak pernah ngelakuin tindakan kriminal kayak maling dan mengganggu orang,” ujar Anta dengan muka yang serius menatap mata saya.

Ada yang unik dari pengakuan anak punk tersebut. Mereka kerap melakukan forum dan rapat diskusi membahas rencana mereka ke depan termasuk warna jenis rambut apa yang akan mereka pergunakan dua bulan kedepan layaknya para pejabat merencanakan fokus apa yang akan dihearingkan atau kapan mereka melakukan korupsi berjamaah. ”Forum diskusi tersebut sudah terjadwal, dan kami akan membahas apa rencana kami kedepan demi kemajuan anak punk, seperti bagi kerja mulai ngamen di mana, pokoknya berbagi tugaslah,” jelas Anta.

Punk kerap kali dianggap sebagai komunitas bermasalah. Kedelapan anak tersebut mengakuinya, mulai dari ikut campur kala ada tawuran hingga bergerombol di suatu tempat. Tapi siapa nyana, bagi sesama anggota anak punk mempunyai rasa solidaritas luar biasa. Kalau ada yang sakit mereka akan bergotong royong mencari bantuan dengan mengamen, ada yang bertugas menjaga, dan bila waktu sudah terdesak dengan biaya yang tidak cukup, mereka akan minta bantuan Satpol PP untuk merazia mereka. Sehingga pemerintah membiayai pengobatan temannya.
“Makanya saya sulit melepaskan karakter ini dari hidup saya, sekali pun orang tua saya menyuruh saya untuk balik ke rumah dan bersekolah kembali,” ujar Anta yang mengaku tinggal di Tiban BTN ini.

Begitu tingginya rasa solidaritas mereka, sehingga bila ada anak punk yang disakiti dan diganggu orang lain diluar komunitas mereka, dengan bekerja sama pula mereka akan membantu temannya tersebut, berkelahi sekali pun.

Namun bila ada bentrok sesama anak punk, dengan kompak juga mereka mengucilkan bahkan tidak segan menampar dan menyiksa anggota yang berkelahi tersebut. Kemudian malamnya diadakan forum guna menyelesaikan masalah tersebut.

Menurut Bobby, punk lahir di jalanan di negara Eropa dan Amerika, dari orang-orang yang tertindas seperti buruh dan gelandangan yang benci dengan keadaan yang membuat hidupnya tertekan. ”Kalau kita di sini bukan karena benci keadaan, tetapi jujur proses pencarian jati diri dengan bergaul dengan komunitas yang tidak munafik seperti kebanyakan remaja lainnya yang dengan sesuka hati menyatakan genk peace.Padahal mereka sendiri terjerembab kejurang pesta seks dan narkoba. Sifat seperti itu tidak berlaku bagi kami, tapi justru kami yang dicap perusuh. Padahal itu hak kami sebagai manusia bebas juga,” ujarnya panjang lebar.

Setelah petugas datang membawa kunci, pintu pun dibuka dan dengan kompak mereka berbagi tugas mencuci kamar mandi dan menyapu ruangan tempat penampungan tersebut. ”Sepertinya malam ini kami akan tidur di sini dan dikasih makan pula,” ujar Anta senyam-senyum.

Kepala Bidang Bantuan Jaminan Sosial dan Dinas Sosial Kota Batam, Noor Arifin mengatakan, anak punk yang terjaring razia akan diberi penyuluhan dan pandangan positif. ”Kita cari akar permasalahannya mengapa mereka sampai tahan hidup di luar, terus kita pulangkan keorang tuanya,” ujarnya, kemarin.

Arifin mengakui, faktor mentalitas dan pencarian jati diri akibat kurangnya perhatian orang tua menjadi salah satu penyebab anak-anak punk di Indonesia, khususnya di Batam membuat budaya sendiri. Sehingga kini Pemko membuat pola pembinaan dengan sistem panti dengan mengembangkan bakat terpendam mereka. Adapun razia tersebut merupakan penegakan dari Perda Nomor 6 Tahun 2002 tentang ketertiban sosial. cya

(Tulisan Pernah Dimuat di Harian Batam Pos, Edisi 4 November 2008)

2 comments :

  1. ga ada salah nya sama punk,, hanya selera,, seperti orang suka dangdut, orang suka rock, nah ini suka punk,, boleh?

    salam
    helm sepeda onthel

    ReplyDelete

Designed by catatan traveler | Distributed by catatan traveler